Cerpen oleh 10.1 - Uang Bukan Segalanya
UANG BUKAN SEGALANYA
Matahari pagi mengintip dari balik awan, terasa
bagaikan sambutan
pagi untukku yang masih merasa ngantuk.
Dengan berat hati kulangkahkan kakiku keluar dari mobil
yang telah berhenti tepat di depan pintu gerbang sekolah.
“Ayo cepat! Cepat masuk dek, sudah
mau tutup ini gerbangnya!” teriak seorang satpam sekolah yang menyadarkanku dari lamunan. Aku segera berlari
melewati gerbang dan menarik napas yang dalam,
bersiap-siap mengerahkan seluruh tenaga yang kumiliki untuk mendaki ratusan anak tangga sampai ke lantai 4. Aku
pun kembali pada lamunanku. Aku harus segera bertemu Agus untuk menjalankan
rencanaku.
“Aguuuuuuus!” kupanggil nama Agus ketika dia sedang membereskan
bukunya di depan loker. Dia menoleh kepadaku, tersenyum, lalu melambaikan
tangannya padaku. Akupun mengajak dia berjalan bersama menuju kelas kami. Aku
menimbang-nimbang kapan aku harus menjalankan rencanaku. Sekarangkah? Ataukah
nanti? Mungkin aku harus mengajaknya berbicara, yah, sekadar
untuk mencairkan suasana. Sebenarnya ia baik, tapi semua ini terpaksa aku
lakukan demi Juto. Namun aku tak tahu apa yang kini aku
lakukan itu benar atau salah.
“BRAAAAK!”
“Ya ampun Ebim!!! Lu
kenapa?” tanya
Agus dengan histeris.
“SAMPAH!!! Siapa yang taro tong sampah di sini?!”
Baru saja bel istirahat pertama berbunyi, kantin sudah
sangat penuh dan sesak. Sudah saatnya aku menjalankan rencanaku, seperti biasanya. Aku berlari mencari counter favoritku.
“MBAK! PESEN
NASI GORENG YANG BIASANYA YA, SATU!” teriakku sambil meloncat-loncat kegirangan.
“Yang biasanya apa ya? Kayaknya kamu belum pernah kesini deh..” tanya
si mbak dengan wajah bingung.
“ANJRIT, GUE TERNYATA SALAH COUNTER!” Aku menyadari ternyata counter favoritku tepat berada di sebelah kanan counter dimana aku teriak tadi. Duh, malunya.
“Hehehe,
maaf ya mbak,” kataku meminta maaf kepada mbak
yang ada di counter tersebut. Setelah
memesan di counter sebelah, aku
pura-pura sibuk mengecek dompetku. Dan rencanaku pun dimulai.
“Gus, aduh! Flazz
gue kayaknya ketinggalan
di rumah nih, hehehe. Gimana ya? Boleh pinjem flazz ga??” kataku pura-pura polos kepada Agus.
“Yaudah, gue bayarin deh!” Agus tersenyum manis kepadaku. Aku muak melihatnya.
“EBIM ALIBI!” teriak salah seorang dari belakang.
“Eh, siapa lu
siapa gue?!” aku
berteriak membalas kepada siapapun yang tadi teriak padaku. Nyebelin banget sih!
Berbagai pikiran kini menghampiriku.
“Bim, kamu kenapa?“ suara bass yang tak asing membuyarkan segala pikiranku.
“Enggak apa
- apa kok pa”
“Beneran ga
apa - apa, SUMPAH PA, AKU GAK
APA-APA” teriakku kepada papaku.
“Kayaknya
papa belum nanya 2 kali deh.” Kata papaku bingung.
“Hehehe, maaf deh Pa,” akupun masuk ke dalam lamunanku
kembali. Tetapi lamunanku buyar karena panas dan engapnya mobilku. Aku
memutuskan untuk menyalakan Air Conditioner.
“PLAK!”
“Apaan sih pa?!” teriakku kepada papaku.
“Sayang bensin tau”
kata papaku dengan ekspresi santai.
“Ish papa pelit banget deh....”
“Ya udah, udah, nih, kamu pake ini aja,” kata papaku sambil memberikan
sehelai kertas kepadaku. Dasar papa pelit! Aku melanjutkan lamunanku lagi,
apakah aku harus melanjutkan rencanaku? Aku bimbang. Karena bosan aku
memutuskan unuk menyalakan radio. Tapi tiba-tiba…
“PLAK!”
“Apaan sih pa?!” teriakku pada papa.
“Sayang bensin tau”
kata papaku dengan ekspresi santai.
“Radio kan gapake bensin pa.. Please deh pa..”
Sesampainya aku di rumah, aku langsung membuka pintu
gerbang dan menunggu sampai papaku selesai memarkirkan mobil di garasi.
Kemudian aku membuka pintu rumah, melepas sepatu dan kaus kaki, menarik ikatan
dasi dengan asal, melempar tas ranselku ke atas sofa, dan langsung menuju meja
makan.
“Haaaa??
Hari ini kita makan tahu dan tempe lagi? Yang bener aja!!” protesku
kepada papa.
“Iya anakku Ebim, kita harus berhemat sehemat
mungkin,” jawab papaku dengan gayanya yang selalu santai.
“Aku bosan Pa, tiap
hari makan tahu tempe mulu,” aku
bersungut-sungut. Papaku tidak menjawab sama sekali dan langsung mengambil remote tv yang ada di atas meja makan
kami.
Aku mendengar suara motor mendekati rumah kami. Aku
berjalan keluar rumah dan mendapati Juto telah sampai di rumah. Dia turun dari
motor kesayangannya yang selalu dia cuci setiap malam jumat dengan air kembang.
Aku tidak tahu dia pergi berguru ke dukun mana, yang jelas, juto membawa sebuah
kantung plastik hitam.
“Bim, liat deh
apa yang gue bawa, lu pasti nari – nari kayak topeng monyet deh, hahaha!” ejek Juto.
“Awas ya to, kalo
sampe gue ga nari – nari kayak topeng mo.. WOW!”
aku yang belum selesai bicara dikagetkan dengan isi kantung plastik hitam itu yang ternyata adalah Kentucky Fried Chicken (KFC).
“Gue tau
bim, lu bosen makan tahu tempe mulu, gue beli 3 bungkus kok,
kita makan bareng sama si Om,” kata
Juto sambil masuk ke dalam rumah.
“Om Mawaaan, Juto udah
pulang nihh!!! Juto bawa yang enak lohhh..” teriak Juto ke papaku dengan
riang.
“Oh yaa?
Bawa apa kamu to??” tanya
papaku penasaran dengan apa yang dijinjing Juto di dalam tangannya.
“Kentucky Fried Chicken lohhh!! Kita hari
ini makan enak ya Ommm,” kata Juto dengan polos.
“JUTOO!!! Kamu ini!!! Pemborosan banget tau gak sih!?
Gaji Om aja yang 3 milyar sebulan aja
ga pernah Om buang – buang buat beli
makanan yang ga bergizi kayak gini, jutoooo, jutoooo, pie
toh,” omel papaku sambil menepuk dahinya.
Aku dan Juto memakan Kentucky Fried Chicken itu dengan lahap, seperti orang
yang belum makan tiga hari lamanya. Aku melihat papaku makan dengan ganas, dia
terlihat sangat berbahagia. Karena papaku makan dengan ganas, papa selesai
makan dalam waktu kurang dari 5 menit, apalagi makanan yang Juto bawa kali ini
sangat membahagiakan hidup papaku. Setelah sendok terakhir dari makanan yang
sangat amat jarang
berada di atas meja makan rumahku ini telah
kulahap, aku dan Juto
mulai berunding di saat papa menonton tv.
“Jadi bim, gimana
tadi di sekolah? Lu udah ngejalanin
rencananya hari ini belom?” tanya Juto dengan antusias.
“Iya kok, udah.. Tapi kenapa gue harus malak Agus secara halus sih??
Maksud gue, kenapa harus dia yang gue palak?”
Raut wajah Juto sesaat terlihat berubah. Ya, tanpa harus ditanya, aku pun
sepertinya sudah mengetahui alasannya. Balas dendam. Sekarang yang sedang ada di
kepalanya hanya balas dendam. Aku merasa kasihan padanya. Juto berdiri,
membuang bungkus makanannya dan melangkah menuju kamarnya.
Malamnya, papa berkata kepadaku bahwa akan mengajakku
dan Juto pergi ke sebuah restoran yang cukup berkelas. Setelah aku menginterogasi papaku, ternyata aku tahu bahwa papa punya gebetan baru dan berencana untuk mengajak
gebetannya
ini makan malam, kekeke
papa ini, sudah berumur masih saja genit.
Setelah aku merasa oke
dengan penampilanku, aku pun pergi bersama papa dan Juto ke resto
tempat papa bakal “ngedate”. Selama perjalanan menuju
restoran tersebut, papa tak henti - hentinya curhat.
Papa curhat mulai dari a sampai z
tentang betapa naksirnya ia pada gebetannya ini. Aku dan Juto terpaksa
mendengarkan curhatan sang ayah. Juto
pun sudah mulai kesal, dia meminjam Ipod-ku dan langsung diam menikmati musik
kesukaannya dari Ipod-ku.
Aku, sebagai anak papa yang paling keren, hanya manggut – manggut kebosanan.
“Papa, papaa.. Yang bener aja deh.
Udah tua kok masih aja keganjenan. Inget umur inget tampang dong paahh
puhhleaseeee,” ejek aku sambil
menyibak poniku.
“Yah, kalo cocok
sama papa, kali ini jadi calon mama kamu ebim.. Kayaknya orangnya baik hati, tidak sombong, ramah, gaul
dan berjiwa muda, suka menyiram
bunga lagi..” sahut Papa dengan berbunga-bunga. Pantesan Papa berbunga-bunga,
dambaan hati Papa ini ternyata punya hobi menyiram bunga.
“Papa ketemu gebetan
pertama kali dimana pa??”
“Papa belom pernah ketemu muka, cuma
lewat internet aja”
jawab Papa yang selalu bersikap santai. Papa curang banget! Aku saja tidak diperbolehkan
untuk membuka internet untuk mengerjakan tugas, eh, dia malah asik-asikan cari jodoh lewat berbagai
situs-situs biro jodoh dan jejaring sosial. Padahal, informasi yang tertulis di
internet kan, tidak bisa dijamin
kebenarannya. Kalau ternyata gebetan
papa ini teroris, atau waria, gimana?
Masa iya aku mau punya mama jadi-jadian? Ckckck, papa, papaaa... Tua-tua
keladi.
Sesampainya di restoran, aku dan Juto segera mencari
toilet untuk berkaca. Kami memang adalah dua remaja yang
sangat mempentingkan kecantikan dan penampilan. Si Juto
mungkin merasa dirinya yang paling imut kali
ya, ngaca – ngaca gitu. Kayak alay yang sering aku lihat berfoto –
foto ria di toilet, ga ada background
lain kali ya. Aku geli melihatnya. Setelah puas berkaca –
kaca dan berfoto – foto dengan juto di kaca toilet, aku berjalan dengan riang
dan mencari – cari meja Papa. Aku melihat papa dan….. Heh? Yang bener aja?! Itu yang di depan Papa.. Gak
mungkin!
Juto yang heran melihat ekspresi wajahku melihat ke arah mataku menuju. Dia juga tak kalah kagetnya
denganku.
“Bim.. Ebim.. itu kan…”
Juto tergagap.
“Iya to, itu Agus.. Dia sama nyokapnya?!”
Juto berjalan dengan canggung kearah papa. Aku
mengikut di belakangnya. Saat sampai di meja tersebut, aku pura-pura kaget dan
menyapa Agus
dengan gaya sok hebohku.
“Ohhyaampyuuun Aguuus! Kok elu di sini!? Ahahahahah! Siapa yang duduk di samping elu ini gus? Ini cici
lu? Haaaaah? Ini nyokap
luu? Waaaw. Masih muda banget yaa! Ahahahaha!”
“Bim.. Bim.. Gue
belom ngomong apa-apa, tapi iya, kenalin, ini mama gue,”
seru Agus
keheranan.
“Bim, To, kenalin,
ini Tante Jovita, dan ini anaknya, Agus. Jov, Gus, ini Ebim, dan ini Juto,” idihh.. Papa sok manis. Gila. Aku tidak
menyangka kalau
ternyata papaku bisa menjadi segenit ini didepan gebetannya.
“Kenalin tante, saya Ebim!!” aku dengan kepedeanku yang setinggi langit ke-tujuh
segera menyapa perempuan yang duduk di samping Agus, mencoba untuk terlihat
ramah dan memberikan kesan yang baik.
“Ohh jadi ini yang namanya Ebim? Papa
kamu sudah cerita banyak tentang kamu lho,
bim, ke tante. Kenalin, nama tante Jovita, tante ini mamanya Agus” balas si
tante dengan senyuman ramah.
Aku pun duduk dengan canggung seusai bersalaman
dengannya.
Kulirik Juto
yang dari tadi hanya duduk diam dan sok sibuk memainkan Ipod yang tadi dia pinjam dariku. Saat ini, hanya papa dan tante
Jovita yang ngobrol berdua dengan asyiknya. Papa
terlihat sangat genit. Aku dan Juto mulai lelah menunggu mereka berjam-jam
tanpa diberikan makan malam. Mereka sama sekali tidak memperdulikan anak – anak mereka. Aku, Juto, dan Agus dilupakan.
Dunia dikira punya mereka berdua doang
kali. Helooooo, kita dianggap apa sih?
Dayang dayang kali yaa?
Perutku sudah mengomel, menagih makanan yang tak
kunjung datang karena memang, belum dipesan. Sampai akhirnya seorang pramusaji
datang menyelamatkan hidupku.
“Maaf, Bapak, Ibu, Anda sudah siap untuk memesan
makanan?”
“Aduh yaampun!
Kita belum pesan makanan! Ebim, Juto, Agus, kalian mau makan apa?”
“Jovit, jadi aku ga
ditanyain nih?!” papa berkata sambil mengedipkan sebelah matanya.
“ Ah, kamu mah ga
usah ditanyain lagi. Soalnya kamu kan udah dewasa dan bisa mengurus diri
sendiri” kata tante Jovita sambil tersenyum dengan manisnya. Aku hanya
tersenyum geli melihatnya.
“Agus, kamu boleh pesan apa saja yang kamu mau, kalo perlu, om pesankan semuanya yang
ada di dalam daftar menu.”
“Ga usah
semuanya kok om, cukup nasi goreng aja om”
“Kok tumben banget sih pa?” aku menyeletuk dengan maksud menyindir papa yang
biasanya pelitnya ga ketolongan.
“Ah, kamu
bim, ngelantur aja bisanya” kata papa sambil tertawa,
mencoba menutupi malunya.
“Ebim, Juto, kalian mau pesan apa?” tanya tante Jovit
padaku dan Juto
“Aku pesen Tenderloin Steak, Tante.” jawabku kepada Tante Jovit.
Juto hanya berdiam diri dan tak berkata sepatah kata pun.
“Ebim, bukannya
kamu lagi dalam program diet ya??” tanya papa nyeletuk.
“Heh? Sejak kapan aku diet? Ngarang aja nih papa. Hahaha….ADUH!!” tiba-tiba papaku menginjak kaki ku.
“Jangan pesen
yang mahal – mahal, bilang ke Juto juga yaa.” Bisik papaku.
“Astaga papa, tapi tadi papa nawarin Agus
pesen semua yang ada di dalam daftar
menu.” Jawabku sambil berbisik juga.
Aku ingin date
papa lebih cepat selesai. Aku sudah muak melihat papa dan tante Jovit duduk
berduaan dengan mesranya.
“Papa, jangan sampe
lupa dong, besok ebim pergi ke sekolah loh.
Dan aku belom siap-siap buat sekolah besok lohhh, ayo pulang paaah,”
rengek aku karena sebenarnya memang sudah malas mendengar segala gombalan – gombalan kuno yang terlontar keluar dari mulut papa untuk
tante Jovit. Aku geli melihatnya. Selama
mereka bercerita, aku hanya ingat satu bagian di saat tante jovit sok kaget ngomong
"Ohh yaampun, Ebim sama Agus ini satu kelas? Aihhh kebetulan banget yaaa!”
Akhirnya….
“Ayok! Mari kita pulang! Besok anak – anak pergi ke sekolah
pagi – pagi, Jovita, kamu mau lihat rumahku dulu tidak?”
ajak papaku kepada tante Jovita yang memang belum
pernah ke rumah kami. Tante jovit segera mengangguk mengiyakan ajakan papa. Aku yakin pasti ia
sangat senang akan berkunjung ke rumah kami.
“Tapi Mawan, kita antar Agus dulu ke rumah,
ya?
Agus juga belum membereskan buku-bukunya. Bolehkah kami menumpang di mobil
kamu? ” tanya
tante Jovita.
“Oh!!! Boleh - boleh, tentu saja boleh!! Memangnya tadi kalian pergi ke
restoran ini dengan apa?” tanya papaku
“Hehe, kami ke restoran ini dengan mobil diantar supir
kami, tapi aku lupa, aku suruh supirnya pulang, lagian
aku takut menyetir sendiri kalau sudah keluar komplek rumah kami.” jawab tante Jovit. Aku yakin ini pasti ada kesengajaan.
Tante Jovit pasti
sengaja menyuruh supirnya pulang dan pura-pura tidak bisa menyetir agar bisa
ikut pulang ke rumah kami dan menghabiskan lebih banyak
waktu berduaan dengan papa.
Tante, tante. Kasihan banget sih. Kok
bisa mau sama papa ya? Ganteng enggak, muda enggak, pinter enggak, rajin menyiram bunga enggak, dermawan juga enggak, padahal namanya Dermawan! Apa ya yang sebenarnya ia lihat dari papa?
Karena aku sendiri tak bisa melihat apa-apa dari papa, kecuali hidungnya yang
sekarang mulai terlihat belang-belang.
“Baiklah, setelah saya bayar, kita langsung antar Agus
ya! Mbak, saya minta bill-nya
yaa!” panggil papaku pada salah seorang
pramusaji sambil melambaikan tangannya.
Selama papa mengurus pembayaran, aku dan Juto ditinggalkan bersama dengan Tante
Jovit dan Agus. Karena aku tahu Juto tidak suka dengan mereka,
maka aku pun mengajak Juto pergi ke toilet dengan memberikan
alasan kepada Tante Jovit bahwa kami mau mencuci tangan.
Mengapa tante Jovit yang harus duduk di sebelah kiri
papa?! Biasanya aku yang duduk di tempat itu! Di sebelah kirinya papa! Tante
Jovit juga dibolehin papa nyalain Air Conditioner!
Sementara aku hampir mati kepanasan tiap kali aku mau minta menyalakan Air Conditioner
itu!
“Papa, kok
tumben nyalain AC-nya? Biasanya sayang bensin...” kataku mengejek papa.
“Haha.. Kamu amnesia ya
bim? Tiap kali masuk mobil kan pasti papa nyalakan AC-nya. Hahaha Ebim, Ebim... Lucu banget ya kamu ini... Papa jadi gemes
deh...” jawab papa dengan santai. Aku yang duduk di antara Agus dan Juto
menoleh dengan wajah cengo ke kanan, kearah
Juto. Juto hanya menggelengkan kepala.
“Gus, besok ada PR dan ulangan apa aja sih??”
tanyaku kepada Agus sekalian untuk
memusnahkan suasana romantis di kedua kursi depan.
“Besok ada PR fisika yang tentang lensa itu, eh, hari Kamis ada ulangan biologi tentang protista, lu udah
dapet slide dari email Ibu
Reny?” Agus merespon pertanyaanku panjang lebar.
“OIYA!! FISIKA!! LUPA GUE!!
Belom liat
internet nih. Banyak ga sih
slidenya? Printer gue tintanya
habis lagi. Lu udah print slide – slidenya?” balasku dengan pertanyaan
bertubi-tubi.
“Yang slide
Protista biologi juga udah gue print kok, hehehe,”
“Aguuus, gue
boleh pinjem PR fisikanya ga?? Gue juga pinjem print out slide
protistanya yaa, gue mau fotokopi besok di sekolah, boleh gaaa?” tanyaku dengan
wajah sangat-sangat sok manis.
“Iya, boleh kok
bim, tenang aja, hehehe”
jawab Agus
dengan dermawannya.
“Agus sayaaaang,
kamu pulang duluan yaa,
siap-siapin buat besok sekolah yaaa,
jangan lupa cuci muka cuci tangan cuci kaki sikat gigi sebelum tidur yaaa,
mama nanti pulang sekitar jam setengah 1 pagi, kamu tidur dulu
aja, mama bawa kunci rumah kok,” jelas tante Jovit panjang lebar kepada Agus yang sedang turun dari mobil. Aku
memandangi handphone-ku, sekarang jamnya menunjukkan pukul 10 malam. Tante Jovit berencana
untuk pulang jam setengah 1 pagi, gila, mau ngapain aja itu tante – tante satu. Bikin repot aja bertamu sampe jam setengah
1 pagi.
“Gila bim,
ini rumahnya Agus?
Anjrit. Gede banget dah,” kata
Juto sambil berbisik kepadaku karena takut ketahuan tante Jovit.
Seperti biasa, jika sudah di depan gerbang rumah, aku
dan Juto selalu membukakan pintu gerbang rumah kami. Aku dan Juto sudah sepakat
sebelumnya, tidak mau membukakan pintu gerbang rumah kami untuk hari ini. Aku
sudah sepakat dengan Juto bahwa kami akan bersikap nakal kepada tante Jovit, supaya kami tidak menjadi satu keluarga.
“EBIM! JUTO! KALIAN SAMPAI KAPAN GA MAU BUKA PINTU GERBANG RUMAH?! TUMBEN KALIAN INI, BEGITU KITA
SAMPE, TIDAK LANGSUNG KELUAR MOBIL! MALAH MAIN IPOD DAN HANDPHONE LAGI INI DUA
ANAK!! NANTI PAPA SITA YA!!” teriak papa memarahi kami yang sedang duduk manis
di kursi belakang.
“Sudah, sudah, Mawaaan, kamu jangan marahin anak-anak gitu dong, kasian mereka. Kan mereka ga salah apa –
apa tapi kok kamu marahin sihh??” kata Tante Jovit meredam amarah
papaku.
Papaku mengikuti nasihat Tante Jovit, papa meminta maaf kepada kami.
“Yaudah, aku aja deh yang buka gerbang,”
“STOP! Jangan buka gerbangnya,” kata papaku sambil
menyanyi dengan suaranya yang fals. (ada lagu stop kau mencuri hatiku – dewi
perssik)
Akhirnya aku pun masuk ke kamarku, meninggalkan papa
dan tante Jovit, dengan
alasan banyaknya tugas yang harus kuselesaikan. Walau aku tahu, hanya cukup
dengan menelepon Agus dan mengatakan bahwa aku tak mengerti tugas yang diberi
Ia akan dengan senang hati membuatkan tugas-tugasku.
Malam itu Juto masuk ke kamarku, sambil memeberikan
sedikit briefing untuk menjalankan
rencana yang harus kukerjakan. Salah satunya aku akan menelepon Agus malam ini
dan memintanya untuk membuatkan tugas-tugasku, lagipula kata Juto aku harus
memanfaatkan segala kesempatan yang ada.
“Halo bim, ada apa?” terdengar
suara dari balik telepon genggamku
saat aku menelepon Agus.
“Gapapa sih. Cuma pengen
nanya PR fisika doang, banyak yang ga gue ngerti nih. Lu
ngerti ga?” tanyaku kepada Agus
berpura-pura bingung mengerjakan PR fisika padahal aku sama sekali belum
melihat soal PR yang diberikan.
“Ngerti sih. Tapi kalo ngasih tau
lewat telepon repot bim, soalnya
hampir semua soal pake gambar -
gambar lensa gitu. Ya sudah, kalo lu
ga ngerti gue kirim aja deh bim, ke email lu. Lu bisa buka email kan? Jadi entar tinggal lu print
aja deehh”
“Yah, lu tahu lah bokap gue kan pelit banget. Jadi gue ga bisa print and ga bisa buka internet
dehh.”
jawabku beralasan dengan centil.
“Oh, ya sudah deh
bim, gue print aja ya buat lu. Besok jangan lupa ambil aja
ya”
“Ok, thank you banget ya”
“Ya, sama-sama,” jawab Agus mengakhiri pembicaraan. Benarkan kataku ia akan dengan senang hati
membantuku mengerjakan tugas - tugasku. Akhirnya rencana kali ini sukses, dan berakhir pula
satu hari yang melelahkan ini.
Keesokan harinya saat aku sampai di sekolah, aku menghampiri Agus yang sudah datang
dengan tumpukan buku berserta tugas-tugasku dan tugas-tugas miliknya sendiri.
Sebenarnya aku masih bingung apa yang kini ku jalankan itu sebenarnya baik atau
tidak. Tapi bagaimanapun hanya ini yang bisa kulakukan untuk Juto. Ya, ini
semua demi Juto dan ini harus berhasil dilaksanakan. Jadi aku tidak boleh
memikirkan baik atau buruk hal yang kini kukerjakan.
“Eh, bim.
Ini PR fisika yang lu minta kemarin,” kata Agus seraya menyerahkan sehelai kertas berisi jawaban – jawaban
dari soal – soal yang diberikan guru fisika.
“Oh okeee thanks ya, lu emang teman gue yang
paling top deh! MUAAAH! Gue harus cepet – cepet nyalin nih!!” ujarku sambil memamerkan senyuman
palsu yang sok manis. Agus hanya
tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepala melihat reaksiku.
Lalu kami pun berjalan menuju ruang kelas bersama-sama dalam diam. Hari
ini Agus terlihat agak murung. Dia lebih pendiam dari yang biasanya. Entah lah apa yang ada di pikirannya, karena kulihat ia seperti sedang memikirkan sesuatu hal
sangat serius. Tapi apa peduliku? Mau dia sedang punya masalah
apapun ataupun tidak toh
tak ada hubungannya denganku. Walau tadi aku mengatakan bahwa ia adalah teman
terbaikku, namun dalam hatiku aku tak pernah menganggap ia teman terbaikku. Jangankan teman terbaik, teman biasa saja rasanya
bukan, bagaimana mungkin ia bisa
menjadi teman terbaikku? Bagiku ia hanya sebuah alat yang harus dan
satu-satunya yang hanya bisa
kugunakan untuk menjalankan semua rencana ini yang kulakukan demi Juto.
Tiba-tiba Pak Rochmadi,
guru wali kelasku yang wajahnya
sekilas mirip Obama KW yang sering
muncul di iklan-iklan tv itu masuk ke dalam kelas. Kemudian Pak Rochmadi
memberikan sedikit briefing tentang
entahlah untuk acara apa katanya. Aku sama sekali tak memperhatikan briefing yang dia berikan. Sesi briefing akhirnya selesai dan segera digantikan pelajaran matematika yang juga
diajar olehnya. Semenjak briefing tadi, aku hanya duduk diam dan
melamun. Aku bimbang. Duh, kok jadi galau
abis gini ya? Pikiranku
melayang jauh, jauh dari pelajaran yang dijelaskan guru di depan kelas. Apakah
harus terus kulanjutkan semua ini? Ataukah akan lebih baik jika kuhentikan
saja? Pelajaran matematika pun berganti dengan pelajaran-pelajaran yang lain. Dan lagi-lagi, aku sama
sekali tidak memperhatikan guru yang sedang menerangkan. Pelajaran demi pelajaran berlalu dan tidak ada
satupun ilmu pengetahuan baru yang masuk
ke dalam otakku. Hari ini benar-benar hari yang paling membosankan dalam
hidupku. Dari pagi sampai siang ini, aku hanya dapat memikirkan tentang hal-hal
yang harus kulakukan atau tidak kulakukan. Agus memang baik kepadaku, tetapi Juto adalah teman
terbaikku, dan aku, sebagai sahabatnya sudah sepantasnya membantunya
menjalankan rencananya. Tapi, apakah melakukan semua ini adalah sebuah dosa? Aku hanya takut akan menyakiti perasaan orang-orang
yang tak seharusnya kusakiti. Bel sekolah membuyarkan semua pikiranku.
Hari ini sekolah terasa cepat sekali.
Aku segera keluar kelas menuju gerbang sekolah, mengarah pada mobil sedan yang
menungguku.
Papaku sudah menungguku di dalam mobil, dan setelah
aku masuk, aku tidak berkata sepatah katapun, bahkan menyapa papa
saja tidak.
Rasanya bibir ini terkunci rapat dan tak ingin dibuka. Aku langsung ketiduran di dalam
mobil. Dan aku dibangunkan papaku setelah kami akhirnya
sampai di rumah dengan posisi mobil yang sudah
terparkir di depan rumah. Aku sama sekali tidak berbicara dan langsung masuk ke dalam kamarku.
Aku kesal dengan papaku. Semua karena aku tidak mau papaku menikah dengan tante
Jovit. Aku hanya berdiam di kamar dan tidak keluar sama sekali dan tiba-tiba…..
“Tok tok tok..
Bim, gue masuk ya?” tanya seseorang dengan suara khas
cempreng yang tak asing di telingaku, kupikir itu adalah suara Juto. Aku membukakan pintu dan memang benar yang
mengetuk pintu kamarku tadi adalah Juto. Juto datang di saat yang tepat. Saat
ini aku sedang butuh teman untuk mencurahkan isi hatik. Aku langsung menyuruh
Juto agar dia cepat masuk ke dalam kamarku tapi dia seperti
sedang kebingungan. Aku yang sedang kesal langsung menarik
Juto yang telmi saat itu ke dalam
kamarku. Aku mengeluarkan kepalaku dari pintu, melihat-lihat apakah ada papa
atau tidak. Aku tidak melihat adanya tanda-tanda kehidupan diluar kamarku ini.
Rumah terlihat sepi bagai tak berpenghuni.
Aku langsung menutup pintu kamar dan menguncinya agar papa tidak bisa langsung
masuk ke kamarku.
“To, hiks, gue ga mau papa nikah sama tante Jovita. Hiks...” aku mencurahkan hal yang aku gelisahkan.
“Gue juga ga mau Om Mawan nikah sama itu orang. Hidup gue
udah susah, nambah susah lagi kalo si Om Mawan nikah sama itu orang,” kata Juto yang intinya sama dengan
perkataanku sebelumnya. Kami sama-sama tidak mau papaku, atau yang biasa Juto panggil Om Mawan, menikah dengan Tante Jovit. Aku dan Juto
mulai menyusun rencana – rencana agar Tante Jovit tidak menikah dengan papaku.
Agar jangan sampai ada kejadian dimana aku, juto, papaku, Tante Jovit, dan Agus
tinggal di bawah atap yang sama.
“Tok, Tok, Tok,”
“Mawaaaaan, Mawan Darlinggg,
buka pintunya dongs, ini Jovitaaa,” ujar seseorang dari luar rumah. Aku
memandang Juto. Seakan bertelepati dengan Juto bahwa Tante Jovit main lagi ke
rumahku.
“Iyaa Jovitaaa, sebentar cyiiiiiiiinnn! Kok kamu malem banget sich datengnya??” jelas
sekali bahwa itu adalah suara Papa. Kok suara Papa jadi kayak suara banci lagi ya? Juto menahan tawanya sehingga
suaranya jadi seperti setan yang sedang cekikikan.
Aku jadi sakit perut karena mendengar suara Juto cekikikan.
“Oh iya!! Mawan sayang, Ebim dimana? Aku ada perlu
nih sama Ebim, Agus menitipkan fotokopian untuk Ebim,” suara Tante
Jovit bertanya kepada Papa.
“Ebim di kamar kayaknya, EBIIIIMMMMM, KE SINI BIM,
TANTE JOVIT NYARI KAMU NIH,” teriak Papa
memanggilku. Sekali lagi aku memandang Juto. Juto berkata kepadaku bahwa Juto
ditinggal di kamarku sendirian saja. Aku menganggukkan kepalaku. Aku memutar
kunci kamarku, membuka pintu kamarku, dan keluar kamar meninggalkan Juto
sendirian di kamarku.
“Eh, malem Tante Joviiit,” salamku kepada Tante Jovit.
“Ebim, ini Agus mau kasi fotokopian, tadi kamu lupa ambil sama dia ya? Tadi Agus manggil-manggil
kamu loh waktu pas kamu mau masuk ke dalam mobil siang tadi. Besok ulangannya
lohh,” kata Tante Jovit sambil menyerahkan fotokopian yang kemarin aku minta
fotokopi darinya.
“Oh iya! Untung Tante ke sini bawa fotokopian
biologinya!! Aku hampir lupa, hehehe, kalo Tante ke sini ga bawa fotokopiannya,
bisa-bisa aku ga belajar biologi hari ini Tante, hehehe makasih ya Tante, aku
titip makasih juga ke Agus ya Tante,” ujarku sok manis di depan Tante Jovit dan
Papa.
“Udah malem gini bim, kamu belom belajar biologi,
padahal besok ulangan!? Bener-bener kamu bim!!” kata papa dengan marah. Selama
ini, sebelum ada Tante Jovit, Papa belum pernah benar-benar memarahi aku dan
Juto.
“Mawan, jangan marahin anak kamu dong. Ebim kan juara
kelas, kok kamu marahin sih, memangnya nilai – nilai Ebim selama ini ada yang
merah? Ga ada kan?” ujar Tante Jovit. Tante Jovit pasti tahu dari Agus bahwa
aku ranking 1 di kelas.
“Ya sudah bim, kamu ke kamar gih, belajar biologi,”
ujar Papa. Tanpa pikir panjang dan tanpa pamitan aku langsung kembali ke kamarku.
“To, balik ke kamar lu gih, gue udah mau tidur nih,”
ujarku. Juto hanya menganggukkan kepala dan keluar dari kamarku perlahan-lahan.
Akhirnya aku tidur, lelah sekali hari itu.
“Ebim, mulai hari ini, kita jemput Agus sekalian ke
sekolah yaa. Karena rumah kita dan rumah Agus satu arah, jadi kita jemput dan
pulang bareng Agus yaa,” kata Papa ketika aku baru masuk ke dalam mobil untuk
berangkat ke sekolah. Aku hanya menganggukkan kepalaku.
“Aguuuuus,” kupanggil namanya ketika aku dan Papa
sudah sampai di depan rumah Agus. Tidak lama kemudian, Agus dan Tante Jovit keluar
dari rumah besar tersebut. Agus segera masuk ke dalam mobil kami dan setelah
pamitan kepada Tante Jovit, Papa langsung menancapkan gas.
“Nanti pulang sekolah, Tante Jovit yang jemput kalian
ya,” kata Papa selama perjalanan menuju sekolah. Aku dan Agus sampai di sekolah
hanya dalam waktu 5 menit. Kemudian aku dan Agus bersama menaiki tangga dan
menuju ke kelas kami.
“Agus, lu uda belajar biologi belom??” tanyaku kepada
Agus sebelum wali kelas kami, Pak Rochmadi, masuk ke dalam kelas kami untuk
briefing.
“udah dong bimmm, hehehe lu uda belom??” tanya Agus
kepadaku.
“udah sih, tapi ga bener-bener hafal, cuma beberapa
yang masuk ke otak gue,” jawabku berbohong. Padahal kemarin aku tidak belajar.
Kemarin setelah masuk kamar disuru Papa belajar, aku malah tidur.
“Yang penting lu udah baca-baca mah pasti bisa lah,
hehehe,” ujar Agus menyemangatiku.
“Iya, hehe. Boleh ga gue duduk di belakang lu?? Kalo
otak gue tiba-tiba blank, bantuin gue yaaa,” tanyaku agar aku dapat contekan
dari Agus. Agus menganggukkan kepalanya dan itu berarti aku boleh duduk di
belakang Agus. Aku pun pindah. Duduk di belakang Agus.
Bu Reny, guru biologi kami, sudah masuk kelas kami.
Kulihat Bu Reny membawa setumpuk kertas yang mungkin berisi soal-soal untuk
ulangan biologi hari ini. Hal ini membuatku merinding. Aku sama sekali belum
membaca-baca materi ulangan kali ini. Tapi aku yakin, Agus pasti akan membantuku
mengerjakan ulangan ini.
“Anak-anak tolong diam, kalo enggak kita ga
mulai-mulai ulangannya ya,” ujar Bu Reny. Kelas langsung sunyi dan mungkin
hanya beberapa orang yang bersuara bertanya tanggal berapa hari ini. Ulangan
biologi pun dimulai. Awalnya aku baca semua soal. Aku tidak mengerti sama
sekali. Banyak nama-nama ilmiahnya lagi. Aku pun mulai mencolek orang yang
duduk di depanku, Agus.
“Gus, dari nomor 4 sampe 22, 25,29,30 dong gus. Tulis
di kertas kecil aja yang biasa ada di kotak pensil lu,” kataku sambil berbisik
kepada Agus meminta jawaban-jawaban dari soal-soal yang aku tidak tahu. Aku
bersyukur karena Bu Reny tidak mendengar suara bahwa aku meminta jawaban dari
Agus. Agus melemparkan kertas kecil berisi jawabannya. Kusalin ke kertas
jawabanku. Lalu tinggal menunggu waktu. Tidak lama kemudian..
“Ayo semuanya kumpulin ulangannya. Udah habis jam
pelajarannya,” kata Bu Reny. Aku mengumpulkan kertas jawabanku. Lalu kembali ke
kursiku. Agus sudah kembali duduk juga di depanku.
“Agus, lu tadi bisa biologinya?” tanyaku yang
sebenarnya sudah mengira bahwa jawabannya pasti iya.
“Yoi, gw bisa dong, it’s easy men, hahaha,” canda
Agus.
“Tadi banyak banget yang keluar nama-nama ilmiah,
aduh, gw cuma belajar inti-intinya aja. Ga belajar sampe nama-nama ilmiah gitu,
terlalu rumit,” balasku.
Semua pelajaran pada hari ini selesai sudah. Setelah
bel berbunyi, aku langsung mencari Agus yang berbeda kelas karena ada pelajaran
split, dan aku mengajak Agus turun ke lantai dasar bersama.
“Gus, mobil lu yang mana? Gue belom pernah liat mobil
lu, jadinya gw ga tau mobilnya udah dateng ato belom,” tanyaku kepada Agus.
“Ah! Itu dia! Itu mobil gw dateng,” jawab Agus sambil
menunjuk mobilnya. Aku dan Agus akhirnya masuk ke dalam mobil Agus dan segera
menuju ke rumah kami. Yang menyetir ternyata Tante Jovit!
“Tante, udah berani nyetir keluar komplek, Tante?”
tanyaku seperti sedang menghina Tante Jovit.
“Bisa donggg, Tante kan sekarang lagi latihan nyetir
di daerah macet, hehehe, biar makin jago dan makin mantep nyetirnya, hehehe,”
jawab Tante Jovit dengan rasa percaya dirinya yang sangat tinggi.
“Mama, hari ini ajak Ebim ke rumah kita aja, Ebim
belom pernah ke rumah kita kan?” ujar Agus kepada Tante Jovit untuk mengajakku
ke rumah mereka yang besar itu.
“Eh! Agus! Ternyata lu punya kalung ini?!” tanyaku
dengan terkejut kepada Agus yang sedang membaca komik di atas tempat tidurnya. Aku
bertanya kepada Agus sambil mengangkat barang yang kutanyakan kepada Agus.
Barang yang kupegang adalah sebuah kalung berbentuk koala, berwarna pink, dari
Australia. Aku pernah melihatnya gambarnya di handphone temanku.
“Iya lah gw punya, emangnya lu mau?” tanya Agus
kepadaku. Jelas banget lah, kalung limited edition dari Australia siapa yang ga
mau kalau ditawarin seperti ini.
“Mauuuu, boleh ga Gus?? Ini cakep banget,” tanyaku
dengan wajah memelas.
“Ya udah deh, ambil aja bim, itu buat lu,” jawab Agus.
“Makasih Aguuuus,” ujarku mengucapkan terima kasih.
Kalung tersebut langsung kusimpan dalam tas sekolahku.
“Jutoooo, lihat apa yang dapatkan hari ini,” kataku
kepada Juto yang sedang asik mencuci motornya dengan air kembang. Aku
memperlihatkan kalung yang tadi kuminta dari Agus kepada Juto.
“Eits, To, jangan dipegang, ini kalungnya dari
Australia tau, mahal loh. Hahaha,” aku bercanda kepada Juto memamerkan betapa
berharganya kalung yang kudapat dari Agus.
“Haha, pinter lu Bim, bagus-bagus,” Juto memujiku.
Malam Jumat ini aku mau bersantai. Karena besok tidak
ada tugas ataupun ulangan! Rasanya senang sekali mendapat barang bagus secara
cuma-cuma. Tiba-tiba…..
“Tok tok,”
“Ebim, Papa masuk ya. Papa mau bicara sama kamu,” kata
Papa sambil masuk ke dalam kamar tidurku. Kali ini muka Papa tidak santai,
melainkan serius.
“Tante Jovita tadi sore cerita ke Papa, kamu ambil
kalungnya Agus. Apakah itu benar?” tanya Papa. Mati aku. Mau jawab apa aku?
“Aku ga ambil kalungnya kok,” jawabku.
“Tante Jovita bilang ke Papa kalo kalungnya Agus kamu
yang ambil,” kata Papa.
“Itu Agus yang kasih kok, aku cuma bilang kalungnya
bagus. Trus abis itu aku ditanya mau ato enggak kalungnya sama Agus,” ujarku.
“Trus kamu bilang mau atau ga?” tanya Papa dengan rasa
penasaran.
“Mau lah, siapa sih yang ga mau terima kalau ditawarin
barang bagus kayak gitu?” jawabku atas pertanyaan Papa.
“Trus sekarang kalungnya sama siapa?”
“Sama aku lah Pa! Papa gimana sih,”
“Sini kasih ke Papa,”
“Ga bisa, ini udah jadi hak milik Ebim, Agus yang
ngasih kok. Ebim ga ngambil!”
“Kamu punya itu juga ga ada gunanya buat kamu Bim,”
“Ini namanya aksesori Pa, ga belajar teori tata busana
sih,”
“Emangnya busana-busana gitu pake teori?”
“Ga usah dipikirin lah Pa, teori-teori gitu ga perlu,”
ada keheningan sejenak.
“Kamu kenapa sih Bim?” tanya Papa, akupun terdiam.
“Cerita sama Papa, kamu kenapa?”
“Ga ada apa-apa Pa, Ebim lagi mau sendiri, Papa boleh
tinggalin aku ga di kamar sendirian aja?” tanyaku kepada Papa. Papa langsung
mengerti. Papa keluar dari kamar tidurku dan meninggalkan aku sendirian di
kamar. Aku merenung. Aku sudah mulai mengerti mengapa Juto dendam kepada Agus.
Semua ini karena Agus mempunyai seorang ibu yang memiliki kasih sayang. Orang
tua Juto meninggal karena kecelakaan saat orang tuanya pergi untuk berbulan
madu. Pada waktu itu Juto dititipkan orang tuanya kepada Papaku. Aku dan Juto
masih berumur 4 tahun dan belum mengerti apapun. Akupun baru diberitahu Papa
apa penyebab orang tua Juto meninggal setelah umurku 15 tahun. Juto mungkin
sadar aku juga tidak punya ibu sama sepertinya. Sehingga dengan gampangnya aku
dihasut. Keadaanku yang hampir tidak pernah diberikan apapun oleh Papa sangat
mendukung penghasutan yang dilakukan Juto kepadaku. “Yang penting UANG, Bim,”
itulah kata yang paling sering diucapkan Juto. Awalnya aku merasa tidak
diperhatikan oleh Papa, sehingga tanpa sadar aku mengikuti pemikiran Juto. Tapi
akhirnya sekarang aku sadar, bahwa uang bukanlah segalanya. Saat ini yang aku
butuhkan adalah cinta, kasih sayang. Hidup tanpa uang tapi penuh kasih sayang
lebih baik daripada hidup tanpa kasih sayang tapi penuh uang. Aku mengerti apa jadinya jika Papa menikah
dengan wanita lain yang tidak mengerti akan kasih sayang dan hanya menginginkan
uang Papa.
Besok aku harus minta maaf kepada Papa karena telah
mengira Papa tidak sayang padaku. Kepada Tante Jovit karena selama aku
mengenalnya, dia telah memberikan kasih sayang kepadaku, tetapi aku
mengabaikannya. Kepada Agus karena aku sudah mengambil apa yang seharusnya
bukan milikku tapi miliknya dan aku akan mengembalikan kalungnya. Kepada Juto
karena saat kuberitahu tentang hal ini, Juto pasti akan sangat kecewa. Dan aku
akan mengajarkan Juto bahwa uang bukanlah segalanya. Dan telah kuputuskan. Besok
aku harus minta maaf kepada semuanya.
Oleh: 10.1
-
Agustinli
-
Felicia Jovita
-
Irene Agustini
-
Juliantoro
-
Mariah Cherubim
-
Nicholas Dermawan