Cerpen oleh 10.1 - Uang Bukan Segalanya

UANG BUKAN SEGALANYA

Matahari pagi mengintip dari balik awan, terasa bagaikan sambutan pagi untukku yang masih merasa ngantuk. Dengan berat hati kulangkahkan kakiku keluar dari mobil yang telah berhenti tepat di depan pintu gerbang sekolah.
“Ayo cepat! Cepat masuk dek, sudah mau tutup ini gerbangnya!” teriak seorang satpam sekolah yang menyadarkanku dari lamunan. Aku segera berlari melewati gerbang dan menarik napas yang dalam, bersiap-siap mengerahkan seluruh tenaga yang kumiliki untuk mendaki ratusan anak tangga sampai ke lantai 4. Aku pun kembali pada lamunanku. Aku harus segera bertemu Agus untuk menjalankan rencanaku.

“Aguuuuuuus!” kupanggil nama Agus ketika dia sedang membereskan bukunya di depan loker. Dia menoleh kepadaku, tersenyum, lalu melambaikan tangannya padaku. Akupun mengajak dia berjalan bersama menuju kelas kami. Aku menimbang-nimbang kapan aku harus menjalankan rencanaku. Sekarangkah? Ataukah nanti? Mungkin aku harus mengajaknya berbicara, yah, sekadar untuk mencairkan suasana. Sebenarnya ia baik, tapi semua ini terpaksa aku lakukan demi Juto. Namun aku tak tahu apa yang kini aku lakukan itu benar atau salah.
BRAAAAK!
“Ya ampun Ebim!!! Lu kenapa?” tanya Agus dengan histeris.
“SAMPAH!!! Siapa yang taro tong sampah di sini?!”

Baru saja bel istirahat pertama berbunyi, kantin sudah sangat penuh dan sesak. Sudah saatnya aku menjalankan rencanaku, seperti biasanya. Aku berlari mencari counter favoritku.
MBAK! PESEN NASI GORENG YANG BIASANYA YA, SATU!” teriakku sambil meloncat-loncat kegirangan.
“Yang biasanya apa ya? Kayaknya kamu belum pernah kesini deh..” tanya si mbak dengan wajah bingung.
ANJRIT, GUE TERNYATA SALAH COUNTER!” Aku menyadari ternyata counter favoritku tepat berada di sebelah kanan counter dimana aku teriak tadi. Duh, malunya.
Hehehe, maaf ya mbak,” kataku meminta maaf kepada mbak yang ada di counter tersebut. Setelah memesan di counter sebelah, aku pura-pura sibuk mengecek dompetku. Dan rencanaku pun dimulai.
“Gus, aduh! Flazz gue kayaknya ketinggalan di rumah nih, hehehe. Gimana ya? Boleh pinjem flazz ga??” kataku pura-pura polos kepada Agus.
Yaudah, gue bayarin deh!Agus tersenyum manis kepadaku. Aku muak melihatnya.
“EBIM ALIBI!” teriak salah seorang dari belakang.
“Eh, siapa lu siapa gue?!” aku berteriak membalas kepada siapapun yang tadi teriak padaku. Nyebelin banget sih!

Berbagai pikiran kini menghampiriku.
“Bim, kamu kenapa?“ suara bass yang tak asing membuyarkan segala pikiranku.
Enggak apa - apa kok pa”
“Beneran ga apa - apa, SUMPAH PA, AKU GAK APA-APA” teriakku kepada papaku.
Kayaknya papa belum nanya 2 kali deh.” Kata papaku bingung.
“Hehehe, maaf deh Pa,” akupun masuk ke dalam lamunanku kembali. Tetapi lamunanku buyar karena panas dan engapnya mobilku. Aku memutuskan untuk menyalakan Air Conditioner.
“PLAK!”
Apaan sih pa?!” teriakku kepada papaku.
“Sayang bensin tau” kata papaku dengan ekspresi santai.
Ish papa pelit banget deh....”
“Ya udah, udah, nih, kamu pake ini aja,” kata papaku sambil memberikan sehelai kertas kepadaku. Dasar papa pelit! Aku melanjutkan lamunanku lagi, apakah aku harus melanjutkan rencanaku? Aku bimbang. Karena bosan aku memutuskan unuk menyalakan radio. Tapi tiba-tiba…
“PLAK!”
Apaan sih pa?!” teriakku pada papa.
“Sayang bensin tau” kata papaku dengan ekspresi santai.
“Radio kan gapake bensin pa.. Please deh pa..”

Sesampainya aku di rumah, aku langsung membuka pintu gerbang dan menunggu sampai papaku selesai memarkirkan mobil di garasi. Kemudian aku membuka pintu rumah, melepas sepatu dan kaus kaki, menarik ikatan dasi dengan asal, melempar tas ranselku ke atas sofa, dan langsung menuju meja makan.
Haaaa?? Hari ini kita makan tahu dan tempe lagi? Yang bener aja!!” protesku kepada papa.
“Iya anakku Ebim, kita harus berhemat sehemat mungkin,” jawab papaku dengan gayanya yang selalu santai.
“Aku bosan Pa, tiap hari makan tahu tempe mulu,” aku bersungut-sungut. Papaku tidak menjawab sama sekali dan langsung mengambil remote tv yang ada di atas meja makan kami.
Aku mendengar suara motor mendekati rumah kami. Aku berjalan keluar rumah dan mendapati Juto telah sampai di rumah. Dia turun dari motor kesayangannya yang selalu dia cuci setiap malam jumat dengan air kembang. Aku tidak tahu dia pergi berguru ke dukun mana, yang jelas, juto membawa sebuah kantung plastik hitam.
“Bim, liat deh apa yang gue bawa, lu pasti nari – nari kayak topeng monyet deh, hahaha!” ejek Juto.
“Awas ya to, kalo sampe gue ga nari – nari kayak topeng mo.. WOW!” aku yang belum selesai bicara dikagetkan dengan isi kantung plastik hitam itu yang ternyata adalah Kentucky Fried Chicken (KFC).
Gue tau bim, lu bosen makan tahu tempe mulu, gue beli 3 bungkus kok, kita makan bareng sama si Om,” kata Juto sambil masuk ke dalam rumah.
“Om Mawaaan, Juto udah pulang nihh!!! Juto bawa yang enak lohhh..” teriak Juto ke papaku dengan riang.
“Oh yaa? Bawa apa kamu to??” tanya papaku penasaran dengan apa yang dijinjing Juto di dalam tangannya.
Kentucky Fried Chicken lohhh!! Kita hari ini makan enak ya Ommm,” kata Juto dengan polos.
“JUTOO!!! Kamu ini!!! Pemborosan banget tau gak sih!? Gaji Om aja yang 3 milyar sebulan aja ga pernah Om buang – buang buat beli makanan yang ga bergizi kayak gini, jutoooo, jutoooo, pie toh,” omel papaku sambil menepuk dahinya.

Aku dan Juto memakan Kentucky Fried Chicken itu dengan lahap, seperti orang yang belum makan tiga hari lamanya. Aku melihat papaku makan dengan ganas, dia terlihat sangat berbahagia. Karena papaku makan dengan ganas, papa selesai makan dalam waktu kurang dari 5 menit, apalagi makanan yang Juto bawa kali ini sangat membahagiakan hidup papaku. Setelah sendok terakhir dari makanan yang sangat amat jarang berada di atas meja makan rumahku ini telah kulahap, aku dan Juto mulai berunding di saat papa menonton tv.
“Jadi bim, gimana tadi di sekolah? Lu udah ngejalanin rencananya hari ini belom?” tanya Juto dengan antusias.
Iya kok, udah.. Tapi kenapa gue harus malak Agus secara halus sih?? Maksud gue, kenapa harus dia yang gue palak?”
Raut wajah Juto sesaat terlihat berubah. Ya, tanpa harus ditanya, aku pun sepertinya sudah mengetahui alasannya. Balas dendam. Sekarang yang sedang ada di kepalanya hanya balas dendam. Aku merasa kasihan padanya. Juto berdiri, membuang bungkus makanannya dan melangkah menuju kamarnya.

Malamnya, papa berkata kepadaku bahwa akan mengajakku dan Juto pergi ke sebuah restoran yang cukup berkelas. Setelah aku menginterogasi papaku, ternyata aku tahu bahwa papa punya gebetan baru dan berencana untuk mengajak gebetannya ini makan malam, kekeke papa ini, sudah berumur masih saja genit.

Setelah aku merasa oke dengan penampilanku, aku pun pergi bersama papa dan Juto ke resto tempat papa bakalngedate”. Selama perjalanan menuju restoran tersebut, papa tak henti - hentinya curhat. Papa curhat mulai dari a sampai z tentang betapa naksirnya ia pada gebetannya ini. Aku dan Juto terpaksa mendengarkan curhatan sang ayah. Juto pun sudah mulai kesal, dia meminjam Ipod-ku dan langsung diam menikmati musik kesukaannya dari Ipod-ku. Aku, sebagai anak papa yang paling keren, hanya manggut – manggut kebosanan.
“Papa, papaa.. Yang bener aja deh. Udah tua kok masih aja keganjenan. Inget umur inget tampang dong paahh puhhleaseeee,” ejek aku sambil menyibak poniku.
Yah, kalo cocok sama papa, kali ini jadi calon mama kamu ebim.. Kayaknya orangnya baik hati, tidak sombong, ramah, gaul dan berjiwa muda, suka menyiram bunga lagi..” sahut Papa dengan berbunga-bunga. Pantesan Papa berbunga-bunga, dambaan hati Papa ini ternyata punya hobi menyiram bunga.
“Papa ketemu gebetan pertama kali dimana pa??”
“Papa belom pernah ketemu muka, cuma lewat internet aja” jawab Papa yang selalu bersikap santai. Papa curang banget! Aku saja tidak diperbolehkan untuk membuka internet untuk mengerjakan tugas, eh, dia malah asik-asikan cari jodoh lewat berbagai situs-situs biro jodoh dan jejaring sosial. Padahal, informasi yang tertulis di internet kan, tidak bisa dijamin kebenarannya. Kalau ternyata gebetan papa ini teroris, atau waria, gimana? Masa iya aku mau punya mama jadi-jadian? Ckckck, papa, papaaa... Tua-tua keladi.

Sesampainya di restoran, aku dan Juto segera mencari toilet untuk berkaca. Kami memang adalah dua remaja yang sangat mempentingkan kecantikan dan penampilan. Si Juto mungkin merasa dirinya yang paling imut kali ya, ngacangaca gitu. Kayak alay yang sering aku lihat berfoto – foto ria di toilet, ga ada background lain kali ya.  Aku geli melihatnya. Setelah puas berkaca – kaca dan berfoto – foto dengan juto di kaca toilet, aku berjalan dengan riang dan mencari – cari meja Papa. Aku melihat papa dan….. Heh? Yang bener aja?! Itu yang di depan Papa.. Gak mungkin! Juto yang heran melihat ekspresi wajahku melihat ke arah mataku menuju. Dia juga tak kalah kagetnya denganku.
“Bim.. Ebim.. itu kan…” Juto tergagap.
“Iya to, itu Agus.. Dia sama nyokapnya?!”

Juto berjalan dengan canggung kearah papa. Aku mengikut di belakangnya. Saat sampai di meja tersebut, aku pura-pura kaget dan menyapa Agus dengan gaya sok hebohku.
Ohhyaampyuuun Aguuus! Kok elu di sini!? Ahahahahah! Siapa yang duduk di samping elu ini gus? Ini cici lu? Haaaaah? Ini nyokap luu? Waaaw. Masih muda banget yaa! Ahahahaha!
“Bim.. Bim.. Gue belom ngomong apa-apa, tapi iya, kenalin, ini mama gue,” seru Agus keheranan.
“Bim, To, kenalin, ini Tante Jovita, dan ini anaknya, Agus. Jov, Gus, ini Ebim, dan ini Juto,” idihh.. Papa sok manis. Gila. Aku tidak menyangka kalau ternyata papaku bisa menjadi se­­genit ini didepan gebetannya.
Kenalin tante, saya Ebim!!” aku dengan kepedeanku yang setinggi langit ke-tujuh segera menyapa perempuan yang duduk di samping Agus, mencoba untuk terlihat ramah dan memberikan kesan yang baik.
Ohh jadi ini yang namanya Ebim? Papa kamu sudah cerita banyak tentang kamu lho, bim, ke tante. Kenalin, nama tante Jovita, tante ini mamanya Agus” balas si tante dengan senyuman ramah.
Aku pun duduk dengan canggung seusai bersalaman dengannya.

 Kulirik Juto yang dari tadi hanya duduk diam dan sok sibuk memainkan Ipod yang tadi dia pinjam dariku. Saat ini, hanya papa dan tante Jovita yang ngobrol berdua dengan asyiknya. Papa terlihat sangat genit. Aku dan Juto mulai lelah menunggu mereka berjam-jam tanpa diberikan makan malam. Mereka sama sekali tidak memperdulikan anak – anak mereka. Aku, Juto, dan Agus dilupakan. Dunia dikira punya mereka berdua doang kali. Helooooo, kita dianggap apa sih? Dayang dayang kali yaa?

Perutku sudah mengomel, menagih makanan yang tak kunjung datang karena memang, belum dipesan. Sampai akhirnya seorang pramusaji datang menyelamatkan hidupku.
“Maaf, Bapak, Ibu, Anda sudah siap untuk memesan makanan?”
“Aduh yaampun! Kita belum pesan makanan! Ebim, Juto, Agus, kalian mau makan apa?”
“Jovit, jadi aku ga ditanyain nih?!” papa berkata sambil mengedipkan sebelah matanya.
Ah, kamu mah ga usah ditanyain lagi. Soalnya kamu kan udah dewasa dan bisa mengurus diri sendiri” kata tante Jovita sambil tersenyum dengan manisnya. Aku hanya tersenyum geli melihatnya.
“Agus, kamu boleh pesan apa saja yang kamu mau, kalo perlu, om pesankan semuanya yang ada di dalam daftar menu.”
Ga usah semuanya kok om, cukup nasi goreng aja om”
Kok tumben banget sih pa?” aku menyeletuk dengan maksud menyindir papa yang biasanya pelitnya ga ketolongan.
Ah, kamu bim, ngelantur aja bisanya” kata papa sambil tertawa, mencoba menutupi malunya.

“Ebim, Juto, kalian mau pesan apa?” tanya tante Jovit padaku dan Juto
“Aku pesen Tenderloin Steak, Tante.” jawabku kepada Tante Jovit. Juto hanya berdiam diri dan tak berkata sepatah kata pun.
“Ebim, bukannya kamu lagi dalam program diet ya??” tanya papa nyeletuk.
Heh? Sejak kapan aku diet? Ngarang aja nih papa. Hahaha….ADUH!!” tiba-tiba papaku menginjak kaki ku.
“Jangan pesen yang mahal – mahal, bilang ke Juto juga yaa.” Bisik papaku.
Astaga papa, tapi tadi papa nawarin Agus pesen semua yang ada di dalam daftar menu.” Jawabku sambil berbisik juga.

Aku ingin date papa lebih cepat selesai. Aku sudah muak melihat papa dan tante Jovit duduk berduaan dengan mesranya.
“Papa, jangan sampe lupa dong, besok ebim pergi ke sekolah loh. Dan aku belom siap-siap buat sekolah besok lohhh, ayo pulang paaah,” rengek aku karena sebenarnya memang sudah malas mendengar segala gombalangombalan kuno yang terlontar keluar dari mulut papa untuk tante Jovit. Aku geli melihatnya. Selama mereka bercerita, aku hanya ingat satu bagian di saat tante jovit sok kaget ngomong
"Ohh yaampun, Ebim sama Agus ini satu kelas? Aihhh kebetulan banget yaaa!

Akhirnya….
Ayok! Mari kita pulang! Besok anak – anak pergi ke sekolah pagi – pagi, Jovita, kamu mau lihat rumahku dulu tidak?” ajak papaku kepada tante Jovita yang memang belum pernah ke rumah kami. Tante jovit segera mengangguk mengiyakan ajakan papa. Aku yakin pasti ia sangat senang akan berkunjung ke rumah kami.
“Tapi Mawan, kita antar Agus dulu ke rumah, ya? Agus juga belum membereskan buku-bukunya. Bolehkah kami menumpang di mobil kamu? ” tanya tante Jovita.
“Oh!!! Boleh - boleh, tentu saja boleh!! Memangnya tadi kalian pergi ke restoran ini dengan apa?” tanya papaku
Hehe, kami ke restoran ini dengan mobil diantar supir kami, tapi aku lupa, aku suruh supirnya pulang, lagian aku takut menyetir sendiri kalau sudah keluar komplek rumah kami.” jawab tante Jovit. Aku yakin ini pasti ada kesengajaan. Tante Jovit pasti sengaja menyuruh supirnya pulang dan pura-pura tidak bisa menyetir agar bisa ikut pulang ke rumah kami dan menghabiskan lebih banyak waktu berduaan dengan papa. Tante, tante. Kasihan banget sih. Kok bisa mau sama papa ya? Ganteng enggak, muda enggak, pinter enggak, rajin menyiram bunga enggak, dermawan juga enggak, padahal namanya Dermawan! Apa ya yang sebenarnya ia lihat dari papa? Karena aku sendiri tak bisa melihat apa-apa dari papa, kecuali hidungnya yang sekarang mulai terlihat belang-belang.
“Baiklah, setelah saya bayar, kita langsung antar Agus ya! Mbak, saya minta bill-nya yaa!” panggil papaku pada salah seorang pramusaji sambil melambaikan tangannya. Selama papa mengurus pembayaran, aku dan Juto ditinggalkan bersama dengan Tante Jovit dan Agus. Karena aku tahu Juto tidak suka dengan mereka, maka aku pun mengajak Juto pergi ke toilet dengan memberikan alasan kepada Tante Jovit bahwa kami mau mencuci tangan.

Mengapa tante Jovit yang harus duduk di sebelah kiri papa?! Biasanya aku yang duduk di tempat itu! Di sebelah kirinya papa! Tante Jovit juga dibolehin papa nyalain Air Conditioner! Sementara aku hampir mati kepanasan tiap kali aku mau minta menyalakan Air Conditioner itu!
Papa, kok tumben nyalain AC-nya? Biasanya sayang bensin...kataku mengejek papa.
Haha.. Kamu amnesia ya bim? Tiap kali masuk mobil kan pasti papa nyalakan AC-nya. Hahaha Ebim, Ebim... Lucu banget ya kamu ini... Papa jadi gemes deh...” jawab papa dengan santai. Aku yang duduk di antara Agus dan Juto menoleh dengan wajah cengo ke kanan, kearah Juto. Juto hanya menggelengkan kepala.
Gus, besok ada PR dan ulangan apa aja sih??” tanyaku kepada Agus sekalian untuk memusnahkan suasana romantis di kedua kursi depan.
“Besok ada PR fisika yang tentang lensa itu, eh, hari Kamis ada ulangan biologi tentang protista, lu udah dapet slide dari email Ibu Reny?” Agus merespon pertanyaanku panjang lebar.
“OIYA!! FISIKA!! LUPA GUE!! Belom liat internet nih. Banyak ga sih slidenya? Printer gue tintanya habis lagi. Lu udah print slideslidenya?” balasku dengan pertanyaan bertubi-tubi.
“Yang slide Protista biologi juga udah gue print kok, hehehe,”
“Aguuus, gue boleh pinjem PR fisikanya ga?? Gue juga pinjem print out slide protistanya yaa, gue mau fotokopi besok di sekolah, boleh gaaa?” tanyaku dengan wajah sangat-sangat sok manis.
“Iya, boleh kok bim, tenang aja, hehehe” jawab Agus dengan dermawannya.

“Agus sayaaaang, kamu pulang duluan yaa, siap-siapin buat besok sekolah yaaa, jangan lupa cuci muka cuci tangan cuci kaki sikat gigi sebelum tidur yaaa, mama nanti pulang sekitar jam setengah 1 pagi, kamu tidur dulu aja, mama bawa kunci rumah kok,” jelas tante Jovit panjang lebar kepada Agus yang sedang turun dari mobil. Aku memandangi handphone-ku, sekarang jamnya menunjukkan pukul 10 malam. Tante Jovit berencana untuk pulang jam setengah 1 pagi, gila, mau ngapain aja itu tante – tante satu. Bikin repot aja bertamu sampe jam setengah 1 pagi.
Gila bim, ini rumahnya Agus? Anjrit. Gede banget dah,” kata Juto sambil berbisik kepadaku karena takut ketahuan tante Jovit.

Seperti biasa, jika sudah di depan gerbang rumah, aku dan Juto selalu membukakan pintu gerbang rumah kami. Aku dan Juto sudah sepakat sebelumnya, tidak mau membukakan pintu gerbang rumah kami untuk hari ini. Aku sudah sepakat dengan Juto bahwa kami akan bersikap nakal kepada tante Jovit, supaya kami tidak menjadi satu keluarga.

“EBIM! JUTO! KALIAN SAMPAI KAPAN GA MAU BUKA PINTU GERBANG RUMAH?! TUMBEN KALIAN INI, BEGITU KITA SAMPE, TIDAK LANGSUNG KELUAR MOBIL! MALAH MAIN IPOD DAN HANDPHONE LAGI INI DUA ANAK!! NANTI PAPA SITA YA!!” teriak papa memarahi kami yang sedang duduk manis di kursi belakang.
“Sudah, sudah, Mawaaan, kamu jangan marahin anak-anak gitu dong, kasian mereka. Kan mereka ga salah apa – apa tapi kok kamu marahin sihh??” kata Tante Jovit meredam amarah papaku. Papaku mengikuti nasihat Tante Jovit, papa meminta maaf kepada kami.
“Yaudah, aku aja deh yang buka gerbang,”
“STOP! Jangan buka gerbangnya,” kata papaku sambil menyanyi dengan suaranya yang fals. (ada lagu stop kau mencuri hatiku – dewi perssik)

Akhirnya aku pun masuk ke kamarku, meninggalkan papa dan tante Jovit, dengan alasan banyaknya tugas yang harus kuselesaikan. Walau aku tahu, hanya cukup dengan menelepon Agus dan mengatakan bahwa aku tak mengerti tugas yang diberi Ia akan dengan senang hati membuatkan tugas-tugasku.

Malam itu Juto masuk ke kamarku, sambil memeberikan sedikit briefing untuk menjalankan rencana yang harus kukerjakan. Salah satunya aku akan menelepon Agus malam ini dan memintanya untuk membuatkan tugas-tugasku, lagipula kata Juto aku harus memanfaatkan segala kesempatan yang ada.

“Halo bim, ada apa?” terdengar suara dari balik telepon genggamku saat aku menelepon Agus.
Gapapa sih. Cuma pengen nanya PR fisika doang, banyak yang ga gue ngerti nih. Lu ngerti ga?” tanyaku kepada Agus berpura-pura bingung mengerjakan PR fisika padahal aku sama sekali belum melihat soal PR yang diberikan.
Ngerti sih. Tapi kalo ngasih tau lewat telepon repot bim, soalnya hampir semua soal pake gambar - gambar lensa gitu. Ya sudah, kalo lu ga ngerti gue kirim aja deh bim, ke email lu. Lu bisa buka email kan? Jadi entar tinggal lu print aja deehh
Yah, lu tahu lah bokap gue kan pelit banget. Jadi gue ga bisa print and ga bisa buka internet dehh.” jawabku beralasan dengan centil.
Oh, ya sudah deh bim, gue print aja ya buat lu. Besok jangan lupa ambil aja ya
Ok, thank you banget ya
“Ya, sama-sama,” jawab Agus mengakhiri pembicaraan. Benarkan kataku ia akan dengan senang hati membantuku mengerjakan tugas - tugasku. Akhirnya rencana kali ini sukses, dan berakhir pula satu hari yang melelahkan ini.

Keesokan harinya saat aku sampai di sekolah, aku menghampiri Agus yang sudah datang dengan tumpukan buku berserta tugas-tugasku dan tugas-tugas miliknya sendiri. Sebenarnya aku masih bingung apa yang kini ku jalankan itu sebenarnya baik atau tidak. Tapi bagaimanapun hanya ini yang bisa kulakukan untuk Juto. Ya, ini semua demi Juto dan ini harus berhasil dilaksanakan. Jadi aku tidak boleh memikirkan baik atau buruk hal yang kini kukerjakan.

Eh, bim. Ini PR fisika yang lu minta kemarin,” kata Agus seraya menyerahkan sehelai kertas berisi jawaban – jawaban dari soal – soal yang diberikan guru fisika.
Oh okeee thanks ya, lu emang teman gue yang paling top deh! MUAAAH! Gue harus cepetcepet nyalin nih!!” ujarku sambil memamerkan senyuman palsu yang sok manis. Agus hanya tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepala melihat reaksiku.

Lalu kami pun berjalan menuju ruang kelas bersama-sama dalam diam. Hari ini Agus terlihat agak murung. Dia lebih pendiam dari yang biasanya. Entah lah apa yang ada di pikirannya, karena kulihat ia seperti sedang memikirkan sesuatu hal sangat serius. Tapi apa peduliku? Mau dia sedang punya masalah apapun ataupun tidak toh tak ada hubungannya denganku. Walau tadi aku mengatakan bahwa ia adalah teman terbaikku, namun dalam hatiku aku tak pernah menganggap ia teman terbaikku. Jangankan teman terbaik, teman biasa saja rasanya bukan, bagaimana mungkin ia bisa menjadi teman terbaikku? Bagiku ia hanya sebuah alat yang harus dan satu-satunya yang hanya bisa kugunakan untuk menjalankan semua rencana ini yang kulakukan demi Juto.

Tiba-tiba Pak Rochmadi, guru wali kelasku yang wajahnya sekilas mirip Obama KW yang sering muncul di iklan-iklan tv itu masuk ke dalam kelas. Kemudian Pak Rochmadi memberikan sedikit briefing tentang entahlah untuk acara apa katanya. Aku sama sekali tak memperhatikan briefing yang dia berikan. Sesi briefing akhirnya selesai dan segera digantikan pelajaran matematika yang juga diajar olehnya. Semenjak briefing tadi, aku hanya duduk diam dan melamun. Aku bimbang. Duh, kok jadi galau abis gini ya? Pikiranku melayang jauh, jauh dari pelajaran yang dijelaskan guru di depan kelas. Apakah harus terus kulanjutkan semua ini? Ataukah akan lebih baik jika kuhentikan saja? Pelajaran matematika pun berganti dengan pelajaran-pelajaran yang lain. Dan lagi-lagi, aku sama sekali tidak memperhatikan guru yang sedang menerangkan. Pelajaran demi pelajaran berlalu dan tidak ada satupun ilmu pengetahuan baru yang masuk ke dalam otakku. Hari ini benar-benar hari yang paling membosankan dalam hidupku. Dari pagi sampai siang ini, aku hanya dapat memikirkan tentang hal-hal yang harus kulakukan atau tidak kulakukan. Agus memang baik kepadaku, tetapi Juto adalah teman terbaikku, dan aku, sebagai sahabatnya sudah sepantasnya membantunya menjalankan rencananya. Tapi, apakah melakukan semua ini adalah sebuah dosa? Aku hanya takut akan menyakiti perasaan orang-orang yang tak seharusnya kusakiti. Bel sekolah membuyarkan semua pikiranku. Hari ini sekolah terasa cepat sekali. Aku segera keluar kelas menuju gerbang sekolah, mengarah pada mobil sedan yang menungguku.

Papaku sudah menungguku di dalam mobil, dan setelah aku masuk, aku tidak berkata sepatah katapun, bahkan menyapa papa saja tidak. Rasanya bibir ini terkunci rapat dan tak ingin dibuka. Aku langsung ketiduran di dalam mobil. Dan aku dibangunkan papaku setelah kami akhirnya sampai di rumah dengan posisi mobil yang sudah terparkir di depan rumah. Aku sama sekali tidak berbicara dan langsung masuk ke dalam kamarku. Aku kesal dengan papaku. Semua karena aku tidak mau papaku menikah dengan tante Jovit. Aku hanya berdiam di kamar dan tidak keluar sama sekali dan tiba-tiba…..
Tok tok tok.. Bim, gue masuk ya?” tanya seseorang dengan suara khas cempreng yang tak asing di telingaku, kupikir itu adalah suara Juto. Aku membukakan pintu dan memang benar yang mengetuk pintu kamarku tadi adalah Juto. Juto datang di saat yang tepat. Saat ini aku sedang butuh teman untuk mencurahkan isi hatik. Aku langsung menyuruh Juto agar dia cepat masuk ke dalam kamarku tapi dia seperti sedang kebingungan. Aku yang sedang kesal langsung menarik Juto yang telmi saat itu ke dalam kamarku. Aku mengeluarkan kepalaku dari pintu, melihat-lihat apakah ada papa atau tidak. Aku tidak melihat adanya tanda-tanda kehidupan diluar kamarku ini. Rumah terlihat sepi bagai tak berpenghuni. Aku langsung menutup pintu kamar dan menguncinya agar papa tidak bisa langsung masuk ke kamarku.
“To, hiks, gue ga mau papa nikah sama tante Jovita. Hiks...” aku mencurahkan hal yang aku gelisahkan.
Gue juga ga mau Om Mawan nikah sama itu orang. Hidup gue udah susah, nambah susah lagi kalo si Om Mawan nikah sama itu orang,” kata Juto yang intinya sama dengan perkataanku sebelumnya. Kami sama-sama tidak mau papaku, atau yang biasa Juto panggil Om Mawan, menikah dengan Tante Jovit. Aku dan Juto mulai menyusun rencana – rencana agar Tante Jovit tidak menikah dengan papaku. Agar jangan sampai ada kejadian dimana aku, juto, papaku, Tante Jovit, dan Agus tinggal di bawah atap yang sama.

Tok, Tok, Tok,”
“Mawaaaaan, Mawan Darlinggg, buka pintunya dongs, ini Jovitaaa,” ujar seseorang dari luar rumah. Aku memandang Juto. Seakan bertelepati dengan Juto bahwa Tante Jovit main lagi ke rumahku.
“Iyaa Jovitaaa, sebentar cyiiiiiiiinnn! Kok kamu malem banget sich  datengnya??” jelas sekali bahwa itu adalah suara Papa. Kok suara Papa jadi kayak suara banci  lagi ya? Juto menahan tawanya sehingga suaranya jadi seperti setan yang sedang cekikikan. Aku jadi sakit perut karena mendengar suara Juto cekikikan.
“Oh iya!! Mawan sayang, Ebim dimana? Aku ada perlu nih  sama Ebim, Agus menitipkan fotokopian untuk Ebim,” suara Tante Jovit bertanya kepada Papa.
“Ebim di kamar kayaknya, EBIIIIMMMMM, KE SINI BIM, TANTE JOVIT NYARI  KAMU NIH,” teriak Papa memanggilku. Sekali lagi aku memandang Juto. Juto berkata kepadaku bahwa Juto ditinggal di kamarku sendirian saja. Aku menganggukkan kepalaku. Aku memutar kunci kamarku, membuka pintu kamarku, dan keluar kamar meninggalkan Juto sendirian di kamarku.
“Eh, malem Tante Joviiit,” salamku kepada Tante Jovit.
“Ebim, ini Agus mau kasi fotokopian, tadi kamu lupa ambil sama dia ya? Tadi Agus manggil-manggil kamu loh waktu pas kamu mau masuk ke dalam mobil siang tadi. Besok ulangannya lohh,” kata Tante Jovit sambil menyerahkan fotokopian yang kemarin aku minta fotokopi darinya.
“Oh iya! Untung Tante ke sini bawa fotokopian biologinya!! Aku hampir lupa, hehehe, kalo Tante ke sini ga bawa fotokopiannya, bisa-bisa aku ga belajar biologi hari ini Tante, hehehe makasih ya Tante, aku titip makasih juga ke Agus ya Tante,” ujarku sok manis di depan Tante Jovit dan Papa.
“Udah malem gini bim, kamu belom belajar biologi, padahal besok ulangan!? Bener-bener kamu bim!!” kata papa dengan marah. Selama ini, sebelum ada Tante Jovit, Papa belum pernah benar-benar memarahi aku dan Juto.
“Mawan, jangan marahin anak kamu dong. Ebim kan juara kelas, kok kamu marahin sih, memangnya nilai – nilai Ebim selama ini ada yang merah? Ga ada kan?” ujar Tante Jovit. Tante Jovit pasti tahu dari Agus bahwa aku ranking 1 di kelas.
“Ya sudah bim, kamu ke kamar gih, belajar biologi,” ujar Papa. Tanpa pikir panjang dan tanpa pamitan aku langsung kembali ke kamarku.  
“To, balik ke kamar lu gih, gue udah mau tidur nih,” ujarku. Juto hanya menganggukkan kepala dan keluar dari kamarku perlahan-lahan. Akhirnya aku tidur, lelah sekali hari itu.

“Ebim, mulai hari ini, kita jemput Agus sekalian ke sekolah yaa. Karena rumah kita dan rumah Agus satu arah, jadi kita jemput dan pulang bareng Agus yaa,” kata Papa ketika aku baru masuk ke dalam mobil untuk berangkat ke sekolah. Aku hanya menganggukkan kepalaku.
“Aguuuuus,” kupanggil namanya ketika aku dan Papa sudah sampai di depan rumah Agus. Tidak lama kemudian, Agus dan Tante Jovit keluar dari rumah besar tersebut. Agus segera masuk ke dalam mobil kami dan setelah pamitan kepada Tante Jovit, Papa langsung menancapkan gas.
“Nanti pulang sekolah, Tante Jovit yang jemput kalian ya,” kata Papa selama perjalanan menuju sekolah. Aku dan Agus sampai di sekolah hanya dalam waktu 5 menit. Kemudian aku dan Agus bersama menaiki tangga dan menuju ke kelas kami.

“Agus, lu uda belajar biologi belom??” tanyaku kepada Agus sebelum wali kelas kami, Pak Rochmadi, masuk ke dalam kelas kami untuk briefing.
“udah dong bimmm, hehehe lu uda belom??” tanya Agus kepadaku.
“udah sih, tapi ga bener-bener hafal, cuma beberapa yang masuk ke otak gue,” jawabku berbohong. Padahal kemarin aku tidak belajar. Kemarin setelah masuk kamar disuru Papa belajar, aku malah tidur.
“Yang penting lu udah baca-baca mah pasti bisa lah, hehehe,” ujar Agus menyemangatiku.
“Iya, hehe. Boleh ga gue duduk di belakang lu?? Kalo otak gue tiba-tiba blank, bantuin gue yaaa,” tanyaku agar aku dapat contekan dari Agus. Agus menganggukkan kepalanya dan itu berarti aku boleh duduk di belakang Agus. Aku pun pindah. Duduk di belakang Agus.

Bu Reny, guru biologi kami, sudah masuk kelas kami. Kulihat Bu Reny membawa setumpuk kertas yang mungkin berisi soal-soal untuk ulangan biologi hari ini. Hal ini membuatku merinding. Aku sama sekali belum membaca-baca materi ulangan kali ini. Tapi aku yakin, Agus pasti akan membantuku mengerjakan ulangan ini.
“Anak-anak tolong diam, kalo enggak kita ga mulai-mulai ulangannya ya,” ujar Bu Reny. Kelas langsung sunyi dan mungkin hanya beberapa orang yang bersuara bertanya tanggal berapa hari ini. Ulangan biologi pun dimulai. Awalnya aku baca semua soal. Aku tidak mengerti sama sekali. Banyak nama-nama ilmiahnya lagi. Aku pun mulai mencolek orang yang duduk di depanku, Agus.
“Gus, dari nomor 4 sampe 22, 25,29,30 dong gus. Tulis di kertas kecil aja yang biasa ada di kotak pensil lu,” kataku sambil berbisik kepada Agus meminta jawaban-jawaban dari soal-soal yang aku tidak tahu. Aku bersyukur karena Bu Reny tidak mendengar suara bahwa aku meminta jawaban dari Agus. Agus melemparkan kertas kecil berisi jawabannya. Kusalin ke kertas jawabanku. Lalu tinggal menunggu waktu. Tidak lama kemudian..
“Ayo semuanya kumpulin ulangannya. Udah habis jam pelajarannya,” kata Bu Reny. Aku mengumpulkan kertas jawabanku. Lalu kembali ke kursiku. Agus sudah kembali duduk juga di depanku.
“Agus, lu tadi bisa biologinya?” tanyaku yang sebenarnya sudah mengira bahwa jawabannya pasti iya.
“Yoi, gw bisa dong, it’s easy men, hahaha,” canda Agus.
“Tadi banyak banget yang keluar nama-nama ilmiah, aduh, gw cuma belajar inti-intinya aja. Ga belajar sampe nama-nama ilmiah gitu, terlalu rumit,” balasku.

Semua pelajaran pada hari ini selesai sudah. Setelah bel berbunyi, aku langsung mencari Agus yang berbeda kelas karena ada pelajaran split, dan aku mengajak Agus turun ke lantai dasar bersama.
“Gus, mobil lu yang mana? Gue belom pernah liat mobil lu, jadinya gw ga tau mobilnya udah dateng ato belom,” tanyaku kepada Agus.
“Ah! Itu dia! Itu mobil gw dateng,” jawab Agus sambil menunjuk mobilnya. Aku dan Agus akhirnya masuk ke dalam mobil Agus dan segera menuju ke rumah kami. Yang menyetir ternyata Tante Jovit!
“Tante, udah berani nyetir keluar komplek, Tante?” tanyaku seperti sedang menghina Tante Jovit.
“Bisa donggg, Tante kan sekarang lagi latihan nyetir di daerah macet, hehehe, biar makin jago dan makin mantep nyetirnya, hehehe,” jawab Tante Jovit dengan rasa percaya dirinya yang sangat tinggi.
“Mama, hari ini ajak Ebim ke rumah kita aja, Ebim belom pernah ke rumah kita kan?” ujar Agus kepada Tante Jovit untuk mengajakku ke rumah mereka yang besar itu.

“Eh! Agus! Ternyata lu punya kalung ini?!” tanyaku dengan terkejut kepada Agus yang sedang membaca komik di atas tempat tidurnya. Aku bertanya kepada Agus sambil mengangkat barang yang kutanyakan kepada Agus. Barang yang kupegang adalah sebuah kalung berbentuk koala, berwarna pink, dari Australia. Aku pernah melihatnya gambarnya di handphone temanku.
“Iya lah gw punya, emangnya lu mau?” tanya Agus kepadaku. Jelas banget lah, kalung limited edition dari Australia siapa yang ga mau kalau ditawarin seperti ini.
“Mauuuu, boleh ga Gus?? Ini cakep banget,” tanyaku dengan wajah memelas.
“Ya udah deh, ambil aja bim, itu buat lu,” jawab Agus.
“Makasih Aguuuus,” ujarku mengucapkan terima kasih. Kalung tersebut langsung kusimpan dalam tas sekolahku.

“Jutoooo, lihat apa yang dapatkan hari ini,” kataku kepada Juto yang sedang asik mencuci motornya dengan air kembang. Aku memperlihatkan kalung yang tadi kuminta dari Agus kepada Juto.
“Eits, To, jangan dipegang, ini kalungnya dari Australia tau, mahal loh. Hahaha,” aku bercanda kepada Juto memamerkan betapa berharganya kalung yang kudapat dari Agus.
“Haha, pinter lu Bim, bagus-bagus,” Juto memujiku.

Malam Jumat ini aku mau bersantai. Karena besok tidak ada tugas ataupun ulangan! Rasanya senang sekali mendapat barang bagus secara cuma-cuma. Tiba-tiba…..
“Tok tok,”
“Ebim, Papa masuk ya. Papa mau bicara sama kamu,” kata Papa sambil masuk ke dalam kamar tidurku. Kali ini muka Papa tidak santai, melainkan serius.
“Tante Jovita tadi sore cerita ke Papa, kamu ambil kalungnya Agus. Apakah itu benar?” tanya Papa. Mati aku. Mau jawab apa aku?
“Aku ga ambil kalungnya kok,” jawabku.
“Tante Jovita bilang ke Papa kalo kalungnya Agus kamu yang ambil,” kata Papa.
“Itu Agus yang kasih kok, aku cuma bilang kalungnya bagus. Trus abis itu aku ditanya mau ato enggak kalungnya sama Agus,” ujarku.
“Trus kamu bilang mau atau ga?” tanya Papa dengan rasa penasaran.
“Mau lah, siapa sih yang ga mau terima kalau ditawarin barang bagus kayak gitu?” jawabku atas pertanyaan Papa.
“Trus sekarang kalungnya sama siapa?”
“Sama aku lah Pa! Papa gimana sih,”
“Sini kasih ke Papa,”
“Ga bisa, ini udah jadi hak milik Ebim, Agus yang ngasih kok. Ebim ga ngambil!”
“Kamu punya itu juga ga ada gunanya buat kamu Bim,”
“Ini namanya aksesori Pa, ga belajar teori tata busana sih,”
“Emangnya busana-busana gitu pake teori?”
“Ga usah dipikirin lah Pa, teori-teori gitu ga perlu,” ada keheningan sejenak.
“Kamu kenapa sih Bim?” tanya Papa, akupun terdiam.
“Cerita sama Papa, kamu kenapa?”
“Ga ada apa-apa Pa, Ebim lagi mau sendiri, Papa boleh tinggalin aku ga di kamar sendirian aja?” tanyaku kepada Papa. Papa langsung mengerti. Papa keluar dari kamar tidurku dan meninggalkan aku sendirian di kamar. Aku merenung. Aku sudah mulai mengerti mengapa Juto dendam kepada Agus. Semua ini karena Agus mempunyai seorang ibu yang memiliki kasih sayang. Orang tua Juto meninggal karena kecelakaan saat orang tuanya pergi untuk berbulan madu. Pada waktu itu Juto dititipkan orang tuanya kepada Papaku. Aku dan Juto masih berumur 4 tahun dan belum mengerti apapun. Akupun baru diberitahu Papa apa penyebab orang tua Juto meninggal setelah umurku 15 tahun. Juto mungkin sadar aku juga tidak punya ibu sama sepertinya. Sehingga dengan gampangnya aku dihasut. Keadaanku yang hampir tidak pernah diberikan apapun oleh Papa sangat mendukung penghasutan yang dilakukan Juto kepadaku. “Yang penting UANG, Bim,” itulah kata yang paling sering diucapkan Juto. Awalnya aku merasa tidak diperhatikan oleh Papa, sehingga tanpa sadar aku mengikuti pemikiran Juto. Tapi akhirnya sekarang aku sadar, bahwa uang bukanlah segalanya. Saat ini yang aku butuhkan adalah cinta, kasih sayang. Hidup tanpa uang tapi penuh kasih sayang lebih baik daripada hidup tanpa kasih sayang tapi penuh uang.  Aku mengerti apa jadinya jika Papa menikah dengan wanita lain yang tidak mengerti akan kasih sayang dan hanya menginginkan uang Papa.

Besok aku harus minta maaf kepada Papa karena telah mengira Papa tidak sayang padaku. Kepada Tante Jovit karena selama aku mengenalnya, dia telah memberikan kasih sayang kepadaku, tetapi aku mengabaikannya. Kepada Agus karena aku sudah mengambil apa yang seharusnya bukan milikku tapi miliknya dan aku akan mengembalikan kalungnya. Kepada Juto karena saat kuberitahu tentang hal ini, Juto pasti akan sangat kecewa. Dan aku akan mengajarkan Juto bahwa uang bukanlah segalanya. Dan telah kuputuskan. Besok aku harus minta maaf kepada semuanya.

 Oleh: 10.1 
-          Agustinli
-          Felicia Jovita
-          Irene Agustini
-          Juliantoro
-          Mariah Cherubim
-          Nicholas Dermawan

Popular posts from this blog

PENGAMATAN SEL TUMBUHAN & PLASMOLISIS

Sinopsis, Unsur Intrinsik, dan Unsur Ekstrinsik Novel Spring in London dan Hikayat Si Miskin

Perjuangan Kemerdekaan Indonesia secara Fisik dan Diplomasi