Laporan Praktikum Analisis Pangan - Instrumentasi
BAB I
HASIL DAN PEMBAHASAN
1.1 Chromameter
Chromameter merupakan alat yang
digunakan untuk menganalisis warna. Prinsip kerja dari chromameter adalah mendapatkan warna berdasarkan daya pantul dari
sampel yang terkena cahaya dari chromameter.
Chromameter mengukur permukaan warna
dan permukaan gelap atau terang pada tingkat yang tepat dengan menyinarinya
dengan cahaya dari xenon arc lamp.
Cahaya yang dipantulkan terbagi menjadi tiga cara, yaitu melewati filter, dan
menyerang silicon photocells sehingga
energi cahaya diubah menjadi sinyal elektrik yang dikirimkan ke microprocessor yang akan dikonversi
menjadi koordinat dalam ruang warna yang terpilih. Output data yang keluar berupa nilai L, a*, dan b*.
Gambar
1.1 Alat chromameter yang digunakan
untuk analisis warna
Secara umum
menggunakan chromameter cukup mudah,
di hal yang pertama yang dilakukan setelah menyalakan chromameter adalah melakukan kalibrasi yang sesuai dengan standar,
meletakkan lensa di atas sampel, kemudian menekan tombol fungsi measure untuk menembakkan sinar dan
menghitung nilai L*, a*, dan b*. Pemakaian chromameter
dibedakan berdasarkan sifat sampel yang ingin diuji. Untuk sampel yang berupa
cairan harus dimasukan ke dalam petri, dan bagian bening diletakkan lensa chromameter, untuk sampel yang
mengandung lemak sampel sebaiknya dilapisi plastic
wrap terlebih dahulu, agar lensa chromameter tidak berminyak atau lengket,
dan untuk sampel yang berbentuk powder dapat menggunakan wadah granular material attachment dan posisi
dari chromameter harus diputar balik.
Gambar
1.2. Sistem warna Hunter (Lab)
Sumber: (X-rite, 2007)
Pada
percobaan yang dilakukan sistem warna yang digunakan Hunter’s Lab Colorimetric Systems yang bercirikan dengan tiga
nilai, nilai lightness (L), redness (a*), dan yellowness (b*). Nilai L, a*, dan b* di mana setiap nilai L, a*,
dan b* mempunyai interval skala yang dapat menunjukkan adanya tingkat warna
dari sampel yang akan diuji. Lightness
(L) akan menunjukkan warna gelap dan terang yang mempunyai interval skala
antara 0 – 100, di mana 0 meyatakan gelap/ hitam dan 100 menyatakan terang atau
putih (Winarno, 1997). Redness (a*)
menunjukkan dari hijau ke merah dan mempunyai nilai interval skala antara (-80)
– (+100). Sedangkan notasi yellowness
(b*) akan menunjukkan dari biru ke kuning dan mempunyai interval skala antara
(-70) – (+70) (Suyatma, 2009).
Gambar 1.3. Diagram warna L*, a*, b*
Sumber: (Suyatma, 2009)
Terdapat
tiga unsur untuk menyatakan pengukuran warna, yaitu lightness, hue, dan chroma. Nilai hue merupakan nilai yang menunjukkan panjang gelombang yang dominan
yang dapat menentukan warna dari sampel yang akan diuji, seperti berwarna
kuning, hijau, atau merah. Sedangkan nilai chroma
menunjukkan intensitas dari warna yang dihasilkan (Winarno, 1997). Di mana
semakin rendah nilai chroma maka
intensitas warna dari sampel yang diuji lemah atau pudar dan bila nilai chroma tinggi maka intensitas warna
semakin kuat (Wetzel dan Charalambous, 1998)
Tabel 1.1.
Penentuan warna hue
No. |
Kisaran Warna |
Kisaran oHue |
1. |
Red Purple |
342o – 18o |
2. |
Red |
18o – 54o |
3. |
Yellow Red |
54o - 90o |
4. |
Yellow |
90o – 126o |
5. |
Yellow Green |
126o – 162o |
6. |
Green |
162o – 198o |
7. |
Blue Green |
198o – 234o |
8. |
Blue |
234o – 270o |
9. |
Blue Purple |
270o – 306o |
10. |
Purple |
306o – 342o |
Sumber: (Winarno, 1992)
Berikut adalah nilai L*, a*, b* dari warna kuning, hijau, cyan, biru, magenta, merah, dan cokelat:
Gambar 1.4.
Nilai L*, a*, b* dari beberapa warna
Sumber:
(Triangle Colorscale)
Dalam praktikum instrumentasi untuk
mengamati warna dengan chromameter,
dihasilkan nilai L*, a*, b* oleh beberapa sampel:
Tabel.1.2.
Hasil pengamatan sampel dengan chromameter
|
L* |
a* |
b* |
Hueo |
Chroma* |
Biskuit
(coklat
muda - kuning) |
64.34 |
6.74 |
23.15 |
73.77 |
24.11 |
Merah |
43.11 |
6.70 |
1.79 |
14.96 |
6.93 |
Ungu
|
41.48 |
3.88 |
-0.13 |
358.08 |
3.88 |
Jingga
kecoklatan |
45.13 |
1.05 |
3.08 |
71.18 |
3.25 |
Hijau
|
45.82 |
-5.46 |
9.08 |
301.02 |
10.60 |
Susu
bubuk (putih
kekuningan) |
68.92 |
-1.07 |
7.89 |
277.72 |
7.96 |
Tingkat keterangan sampel ditentukan
dari nilai Lightness, dan warna yang
dihasilkan dilihat berdasarkan hue
dan Tabel 1.1. Kemudian, intensitas warna ditentukan oleh chroma.
Biskuit memiliki tingkat keterangan yang
cukup tinggi dengan warna ke arah yellow
red, dan intensitas warna yang dihasilkan oleh biskuit cukup rendah.
Untuk sampel dengan warna merah, tingkat
keterangannya tidak terlalu tinggi dengan warna ke arah red purple dan tingkat intensitas warnanya rendah.
Sampel warna ungu memiliki tingkat keterangan
yang tidak terlalu tinggi dengan warna red
purple dan intensitas yang sangat rendah.
Sampel warna jingga kecokelatan (agak gelap)
memiliki tingkat keterangan yang tidak terlalu tinggi dan warna yellow red (jingga)., intensitas
warnanya sangat rendah.
Sampel warna hijau memiliki tingkat
keterangan tidak terlalu tinggi dan warna blue
purple serta intensitas warna yang rendah.
Susu bubuk dengan warna putih kekuningan
memiliki tingkat keterangan yang cukup tinggi dan warna ke arah
blue purple dengan intensitas warna
yang rendah.
Nilai L*, a*, b* yang dihasilkan
pada percobaan dengan Gambar 1.4. menandakan perbedaan untuk tingkat
keterangan, warna yang dihasilkan, dan intensitas warnanya. Warna biskuit,
sampel warna merah, sampel warna ungu, sampel warna hijau dan susu bubuk tidak
sesuai dengan teori. Pada sampel warna merah dan ungu dapat dikarenakan sampel
yang dibuat kurang pekat warnanya sehingga yang terbaca adalah warna red purple.Pada sampel biskuit dan susu
bubuk memiliki tingkat keterangan yang lebih tinggi dari sampel lain dengan
nilai L susu bubuk yang paling tinggi sesuai dengan yang dilakukan.
1.2
Texture Analyzer
Kualitas
dari makanan tidak hanya ditentukan oleh penampakan, flavor, nutrisi, namun juga tekstur (Bourne, 2002 dalam Ahmed,
2016). Tekstur pangan terdiri dari tekstur visual yang dapat dideteksi dengan
sentuhan jari, tekstur auditori yang diterima dalam bentuk suara seperti crispiness, dan tekstur yang bersentuhan
dengan indera mulut (Chen, 2007 dalam Ahmed, 2017). Texture Analyzer merupakan sebuah alat yang dapat mengimitasi
sebuah gigitan atau tekanan yang diberikan pada suatu produk pangan kemudian
dilakukan pengukuran tekstur terhadap pangan tersebut. Texture analysis dilakukan untuk mengetahui penerimaan konsumen
terhadap suatu produk pangan serta untuk mengetahui karakteristik pangan yang
dapat mempengaruhi desain mesin dan peralatan dari proses pangan tertentu
(Brookfield, 2009).
Texture Profile Analysis merupakan metode yang digunakan
untuk menentukan sifat keretakan dari produk pangan yang ditempatkan pada
sebuah piringan dan diberi tekanan tertentu sebanyak sekali atau dua kali,
sehingga produk pangan yang diuji mengalami deformasi yang kemudian dapat
diketahui karakteristiknya. Menurut Stable Micro Systems, parameter yang dapat
dianalisis dengan Texture Analyzer tipe
TA. XT plus adalah adhesiveness, firmness, swelling, tear strength, extensibility, burst point,
disintegration, relaxation, break strength, stiffness, spreadability,
flexibility, hardness, springiness,
cohesiveness, setting/curing, peel strength, friction, tackiness, brittleness,
tensile strength, elastic modulus, compressibility, consistency, toughness,
resilience, dan puncture force.
Bagian Texture Analyzer yang kontak dengan sampel adalah probe atau ujung penusuk sehingga sampel dapat dipenetrasi dengan tekanan tertentu. Probe yang digunakan berbeda-beda bergantung pada sampel yang akan diuji teksturnya dan disesuaikan dengan kondisi bersentuhan dengan penginderaan manusia, seperti menggunakan probe pisau yang dapat mengimitasi gigitan gigi seri pada permen cokelat. Probe yang digunakan untuk mengukur tekstur sampel dalam percobaan ini adalah yang berbentuk silindris. Pinggiran dari ujung probe silindris yang bersentuhan dengan gelatin dibuat beradius 0.4 mm sehingga tidak tajam untuk mencegah rusaknya gel saat penetrasi.
Gambar 1.5. Jenis-jenis probe
Sumber: Thibodeau (2011)
Satuan kekerasan dari
gelatin dihitung dengan satuan Bloom.
Bloom Value (BV) merupakan rasio dari
strength dibandingkan dengan resistance, yang digunakan untuk
mengukur hardness, consistency, firmness,
dan compressibility dari gel pada
temperatur tertentu. Nilai BV untuk gelatin komersial dengan konsentrasi 6.67%
berada di antara 50 gram of force
(gf) hingga 500 gf (Food Technology Corporation, -). Gelatin dengan nilai BV
yang tinggi memiliki titik gel atau titik leleh yang lebih tinggi, memiliki
warna yang lebih terang, serta baunya netral.
Semakin tinggi BV, maka viskositas gelatin akan semakin tinggi (Imeson,
2010). Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi Bloom Value, yaitu: rata-rata berat molekul, sifat kimiawi dari
kolagen, jenis gelatin, dan konsentrasi gelatin.
Tekanan dan ketinggian dari Texture Analyzer distandardisasi terlebih dahulu sebelum digunakan
untuk pengujian pada sampel. Kecepatan alat untuk menusuk adalah 60 mm/menit
(USA) dan 30 mm/menit (Eropa). Kedalaman penetrasi sebesar 4 mm dan tekanan
maksimum yang diberikan sebesar 25 N. (Food Technology Corporation, -).
Sesuai dengan pernyataan Food Technology Corporation bahwa
kekerasan atau BV dari sampel gelatin 6.67% sebesar 50 – 500 gf bergantung pada
jenis gelatin yang diujikan, sampel gelatin 2% memiliki BV sebesar 21.6 gf.
Sedangkan BV conjac 2% sebesar 140.9 gf. Bloom
Value conjac lebih tinggi dari Bloom
Value gelatin berarti conjac memiliki kekerasan dan viskositas yang lebih
tinggi dibandingkan dengan gelatin.
The
Ottawa Cell (A / OTC) terdiri dari persegi sel bagian
uji dan plunger longgar. Sampel uji, yang meliputi buah, sayuran dan
kacang-kacangan, diekstrusi melalui pelat ekstrusi terletak di dasar sel. Piring
ekstrusi memiliki lubang, kawat, pisau atau bar, sesuai sampel dan disediakan
secara terpisah. Dasar yang kedap air dan nampan tangkapan cair memperluas
jangkauan produk yang dapat diuji menggunakan lampiran ini, seperti penilaian
'hidup mangkuk' sereal sarapan (Smewing, 2015).
Ottawa Cell mengikuti prinsip-prinsip Ottawa Uji Sistem Pengukuran (OTMS), sel
uji acrylicfronted dan plunger sesuai digunakan untuk kompres sampel
uji diekstrusi oleh bepergian plunger
lengkap dengan tiga pelat dan dua piston untuk depan dan ekstrusi kembali yang
membutuhkan jadwal basis Tabel TA-BT-KIT
1.3 Spektrofotometri
Spektrofotometri
merupakan pengukuran yang menggunakan alat yaitu spektrometer dan fotometer.
Spektrofotometer menghasilkan sinar yang berasak dari spektrum dengan panjang
gelombang tertentu dan fotometer merupakan alat yang digunakan untuk mengukur
intensitas cahaya yang ditransmisikan atau diabsorbsi. Jadi, spektrofotometer
digunakan untuk mengukur energi relatif jika energi tersebut ditransmisikan,
direfleksikan atau diemisikan sebagai fungsi panjang gelombang. Kelebihan dari
spektrofotometer dengan fotometer adalah panjang gelombang dari sinar putih
dapat lebih dideteksi dan cara ini diperoleh dengan alat pengurai seperti
prisma, grating atau celah optis. (Khopkar, 1990)
Prinsipnya adalah seberkas sinar dilewatkan pada analat, setelah melewati
analat, intensitas cahaya berkurang sebanding dengan banyaknya molekul analat
yang menyerap cahaya itu. Intensitas cahaya sebelum dan sesudah melewati bahan
diukur dan dari situ dapat ditentukan jumlah bahan yang bersangkutan (Harjadi,
1993).
Spektrofotometri visible disebut juga spektrofotometri
sinar tampak yaitu sinar yang dapat dilihat oleh mata manusia. Cahaya yang
dapat dilihat oleh mata manusia adalah cahaya dengan panjang gelombang 400-800
nm dan memiliki energi sebesar 299–149 kJ/mol. Elektron pada keadaan normal
atau berada pada kulit atom dengan energi terendah disebut keadaan
dasar (ground-state) dan energi yang dimiliki sinar tampak mampu membuat
elektron tereksitasi dari keadaan dasar menuju kulit atom yang memiliki energi
lebih tinggi atau menuju keadaan tereksitasi. Cahaya yang diserap oleh suatu
zat akan berbeda dengan cahaya yang ditangkap oleh mata manusia. Cahaya yang
tampak atau cahaya yang dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari disebut
sebagai warna komplementer. Kekurangan dari
spektrofotometer visible adalah hanya
dapat menggunakan 1 absorbance yang
sama dengan 1 panjang gelombang dan 1 sampel saja.
Tabel 1.3. Standard
panjang gelombang
Panjang Gelombang (nm) |
Warna yang diserap |
Warna Komplementer |
400
– 420 |
Ungu |
Hijau
kekuningan |
440
– 490 |
Biru |
Kuning |
490
– 570 |
Hijau |
Ungu
kemerahan |
570
– 585 |
Kuning |
Biru |
585
– 620 |
Jingga |
Biru
kehijauan |
620
– 780 |
Merah |
Hijau
kebiruan |
Salah satu contoh instrumentasi analisis
yang lebih kompleks adalah spektrofotometer UV-Vis. Spektrofotometri UV-Vis
merupakan gabungan antara spektrofotometri UV dan Visible yang menggunakan dua
buah sumber cahaya berbeda, sumber cahaya UV dan sumber cahaya visible. Untuk
sistem spektrofotometri, UV-Vis paling banyak tersedia dan paling populer
digunakan. Kemudahan metode ini adalah dapat digunakan baik untuk sample
berwarna juga untuk sample tak berwarna, berbeda dengan spektrofotometri
visible, pada spektrofotometri UV berdasarkan interaksi sampel dengan sinar UV.
Selain itu, spektrofotometer UV_Vis dapat mendeteksi 4 sampel dengan 2 panjang
gelombang sekaligus. Sinar UV memiliki panjang gelombang 190-380 nm. Lampu
deuterium dapat digunakan sebagai sumber sinar dalam spektrofotometri UV-Vis
(Fatimah dan Yoskasih, 2005).
Tabel.1.4. Hasil pengamatan sampel dengan
spektrofotometer
Spektrofotometer |
Absorbansi |
Panjang gelombang |
Hijau
|
0.715 |
421nm |
Merah
|
0.002 |
763nm |
Cokelat
jingga |
0.005 |
794nm |
Dapat dilihat melalui tabel lampiran bahwa larutan yang digunakan adalah warna hijau, merah dan warna cokelat jingga. Percobaan yang menggunakan larutan berwarna hijau menghasilkan absorbansi 0.715, namun panjang gelombang yang dihasilkan tidak sesuai dengan teori yang ada bahwa panjang gelombang warna hijau adalah 490 – 570 nm, dimana pada percobaan hasil panjang gelombangnya adalah 421 nm. Percobaan yang menggunakan larutan berwarna merah menghasilkan absorbansi 0.002, dan panjang gelombang yang dihasilkan masih masuk dalam range panjang gelombang pada teori yaitu 620 – 780nm dimana pada percobaan dihasilkan panjang gelombang 763 nm. Percobaan yang menggunakan larutan berwarna cokelat jingga menghasilkan absorbansi 0.005, namun panjang gelombang yang dihasilkan tidak sesuai dengan teori yang ada bahwa panjang gelombang warna oranye atau jingga adalah 585 – 620nm, dimana pada percobaan hasil panjang gelombang nya adalah 794 nm. Baseline correction merupakan kontrol awal yang menggunakan cairan bening. Error yang dihasilkan pada percobaan spektrofotometri ini dapat disebabkan oleh adanya partikel koloid yang terdeteksi saat pembacaan panjang gelombang, misalnya penggunaan larutan baseline correction dan larutan pewarna yang tidak bening, sehingga didapatkan hasil yang tidak sesuai dengan teori yang ada. Absorbansi yang terbaca pada spektrofotometer hendaknya antara 0,2 sampai 0,8 atau 15% sampai 70% jika dibaca sebagai transmitans, namun pada percobaan ini, absorbansi yang dihasilkan sangat kecil pada warna merah dan cokelat jingga yaitu 0.002 dan 0.005 secara berturut-turut.
BAB II
KESIMPULAN
2.1 Kesimpulan
Pada percobaan Chromameter tingkat keterangan sampel yang paling tinggi adalah
susu bubuk dan yang kedua adalah biskuit dibandingkan dengan sampel lain.
Perbandingan nilai hue untuk menentukan warna sampel tidak sesuai dengan teori
yang dilampirkan meskipun terdapat juga sampel yang warnanya sesuai dengan
teori.
Menurut
hasil percobaan dengan alat Texture
Analyzer, nilai Bloom Value untuk gelatin komersial dengan konsentrasi
6.67% berada di antara 50 gram of force (gf)
hingga 500 gf (Food Technology Corporation, -). Bloom
Value conjac lebih tinggi dari Bloom Value gelatin berarti conjac memiliki kekerasan dan
viskositas yang lebih tinggi dibandingkan dengan gelatin.
Dari hasil praktikum yang dilakukan, Ottawa Cell digunakan untuk mengukur
tingkat kerenyahan dari Extruder Snack dalam
alat Texture Analyzer. Sampel yang
digunakan adalah Chiki Ring, dengan
hasil tingkat kerenyahan sebesar 389,33 yang menyatakan bahwa sampel ini
renyah. Dari hasil Crispiness yang didapatkan
telah sesuai dengan teori yang ada bahwa tingkat Crispiness sebesar 389,33 yang memiliki sifat renyah.
Pada percobaan praktikum spektrofotometri
yang dilakukan, alat yang digunakan adalah spektrofotometri UV-Vis.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmed, Jasim, Pawel Ptaszek, dan Santanu Basu. 2016. Advances in Food Rheology and Its
Application. United Kingdom: Elsevier, Woodhead Publishing.Diambil dari https://books.google.co.id/books?id=VgBKC
gAAQBAJ&pg=PA67&dq=texture+analyzer+principle&hl=en&sa=X&ved=0ahUKEwivjaXI5IDQAhUHNo8KHUxKAnwQ6AEIRjAH#v=onepage&q=texture%20analyzer&f=false; diakses pada 28 Oktober 2016.
Brookfield, David.
“The Role of Texture Analysis in Food Manufacturing.” Food Online:A Vertmarkets Marketplace for Industry Professionals. 2009. Diambil dari http://www.brookfieldengineering.com/download/files/Food
OnLine-Q&A.pdf; diakses pada 29 Oktober 2016.
CT3 Texture Analyzer. (2008). Brook Field (p. 4). Milwaukee:
European Union.
Smewing, J. (2015). Texture Analysis in Action: the
Ottawa Cell. University of Nottingham: Stable Micro Systems.
Fatimah, S.,
Yanlinastuti, dan Yoskasih. 2005. Kualifikasi
Alat Spektrofotometer UV-Vis untuk Penentuan Uranium dan Besi dalam U-30. Hasil
Penelitian EBN.
Food Tech Corporation. “Gelatin Bloom Testing.” Food Texture Solution. Diambil dari http://www.foodtechcorp.com/pdf/Gelatine.pdf; diakses pada 29 Oktober 2016.
Harjadi, W. 1993. Ilmu
Kimia Analitik Dasar. Jakarta: Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama.
Imeson, Alan. 2009. Food Stabilizers,
Thickeners and Gelling Agents.
United Kingdom: Blackwell Publishing.
Khopkar, S.M. 1990. Konsep Dasar Kimia
Analitik. Jakarta: UI.
Stable Micro Systems. TA. XT plus
Texture Analyzer.
Diambil dari http://www.stablemicrosystems.com/frameset.htm?http://www.stablemicrosystems.com/TAXTplus.htm; diakses pada 28 Oktober 2016.
Suyatma. 2009. Diagram Warna Hunter. Jurnal Penelitian
Ilmiah Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Page 8-9.
Thibodeau,Leonard.
“Get a Feel for Texture.” Food Quality
and Safety: Farm to Fork Safety. September 21, 2011. Diambil dari http://www.foodqualityand
safety.com/article/get-a-feel-for-texture/;diakses pada 30 Oktober 2016.
Triangle
Colorscale. CIE L* a* b* Colorspace. Diambil
dari http://cmykguide.com/pdf/1.%20CMYK%20GUIDE%20%20CIE%20Lab%20color%20space.pdf; diakses pada 29 Oktober 2016.
Vitalis Kft. “Gelatin and Gelatinitation.” Technical Note. Diambil dari http://www.vitaliskft.com/docs/G-3Gelatin.pdf; diakses pada 30 Oktober 2016.
Wetzel, David.
L.B., dan George Charalambous. Instrumental
Method in Food and Beverage Analysis. Amsterdam: Elsevier, 1998.
Winarno, F.G. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 1997.
X-rite. A Guide to Understanding Color
Communication. Diambil dari http://www.xrite.com//media/XRite/Files/Whitepaper_PDFs/L10001_A_Guide_to_Understanding_Color_Communication/L10001_Understand_Color_EN.pdf . USA, 2007;
diakses pada 29 Oktober 2016.